Jumat, 24 Februari 2012

KTI: STRATEGI PENDIDIKAN ACEH DALAM MENGHADAPI ERA KOMPETITIF


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
            Pendidikan merupakan salah satu instrumen penting dalam meningkatkan kemajuan suatu negara atau daerah, sesuai dengan amanat UUD 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Jepang misalnya, pasca kekalahan Perang Dunia ke-2 yang meluluh lantakkan Hiroshima dan Nagasaki, Kaisar Jepang tidak menanyakan berapa jumlah panglima militer atau ekonom yang masih hidup. Akan tetapi, ia hanya menanyakan berapa jumlah pendidik/guru yang masih hidup? Jawabannya kemungkinan karena pendidikan merupakan modal utama untuk mendesain kembali Jepang di masa depan dan saat ini kita bisa melihat betapa majunya ”Negeri Sakura” tersebut.
            Begitu juga halnya dengan Aceh, pasca musibah tsunami banyak munculnya masalah yang berhubungan dengan pendidikan. Betapa tidak, sebagian anak-anak Aceh harus kehilangan pendidikan yang jelas sangat penting untuk menciptakan generasi masa depan yang lebih baik. Di samping itu, banyaknya pembangunan di bidang pendidikan yang harus di rehabilitasi kembali akibat dari musibah tersebut, karena pembangunan juga merupakan faktor penentu dalam proses pendidikan. Dalam kerangka ini pula, pihak pemerintah bersama pihak swasta serta semua lembaga yang terlibat di dalamnya harus memberikan perhatian yang sangat besar dalam membangun kembali sarana dan prasarana pendidikan di Aceh.
            Di era informasi dan komunikasi saat ini, generasi Aceh akan berada dibawah naungan dunia atau peradaban global. Peradaban global ini mau tidak mau akan membawa generasi Aceh kepada kompetisi. Di abad kompetisi akan berlaku hukum kompetitif. Intinya adalah terjadinya pertarungan keunggulan secara alami, dan siapa yang unggullah yang akan mencapai keberhasilan.
            Oleh karena itu, kualitas atau mutu pendidikan Aceh harus ditingkatkan dengan melakukan berbagai upaya dan strategi dalam bidang pendidikan, agar Aceh bisa mencetak generasi yang lebih unggul dimasa mendatang. Sistem pendidikan yang diterapkan tersebut juga harus mampu membawa generasi Aceh kearah yang lebih baik. Sehingga pendidikan generasi Aceh bisa lebih maju dan mampu bersaing di era kompetitif ini.
B.     Rumusan Masalah
            Dari latar belakang yang dikemukakan di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut.
1.      Bagaimanakah kualitas pendidikan Aceh dalam menghadapi era kompetitif?
2.      Apakah strategi yang diterapkan untuk membangun pendidikan Aceh kearah yang lebih baik?
C.    Hipotesis
1.      Sistem pendidikan Aceh pada zaman sekarang ini masih tergolong rendah dan belum sepenuhnya mampu bersaing dalam era kompetitif. Hal ini membutuhkan pembaharuan pendidikan kearah yang lebih baik.
2.      Perlu adanya tinjauan khusus dari pihak-pihak yang terlibat dalam masalah pendidikan, dengan menyempurnakan infra struktur dan supra struktur yang berkaitan dengan pengelolaan dan pembinaan pendidikan di daerah Aceh.
D.    Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.      Tujuan Penelitian
a.       Untuk mengetahui kualitas pendidikan di Aceh.
b.      Untuk mengetahui berbagai strategi dalam memberdayakan pendidikan Aceh di era kompetitif.
2.      Kegunaan Penelitian
a.       Hasil penelitian berguna untuk mengembangkan pengetahuan mengenai pendidikan di Aceh
b.      Untuk merumuskan konsep pemikiran baru yang dapat diterapkan dalam meningkatkan mutu pendidikan Aceh.

BAB II
DASAR-DASAR TEORITIS
A.    Pengertian Pendidikan
            Perkembangan dunia pendidikan seiring dengan perkembangannya zaman menyebabkan banyak pola pikir mengenai definisi atau pengertian pendidikan, mulai dari pola pikir yang awam menjadi lebih modern dan hal ini sangat mempengaruhi kemajuan pendidikan pada umumnya.
            Menurut Kamus Bahasa Indonesia (1991:232), Pendidikan berasal dari kata didik. Kata ini mendapat awalan kata me sehingga menjadi mendidik artinya memelihara dan memberi latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntutan dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Dalam bahasa Yunani, pendidikan berasal dari kata Pedagogi yaitu kata paid artinya anak sedangkan agogos yang artinya membimbing sehingga pedagogi dapat di artikan sebagai lmu dan seni mengajar anak.
            Dalam UU No.20 tahun 2003, disebutkan tentang sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
            Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran atau pelatihan agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya supaya memiliki kekuatan spiritual keagamaan, emosional, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, dan akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.[1]

B.     Visi dan Orientasi Pendidikan
            Visi merupakan pandangan jauh kedepan yang dapat diciptakan oleh supervisor dalam melihat kebutuhan-kebutuhan baik bagi pengembangan kelembagaan maupun pengembangan personal yang sekaligus menjadi pelaksana kelembagaan terkait. Sedangkan orientasi sendiri diartikan sebagai salah satu wacana yang ingin dikembangkan terkait dengan tindakan-tindakan nyata yang dilakukan oleh supervisor dalam rangka pengembangan diri. Adapun visi dan Orientasi pendidikan tersebut adalah:
            pertama, orientasi untuk mencari kebenaran. Keinginan untuk mendapatkan kebenaran, baik yang bersifat filosofis, saintifik, maupun religius, Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa mencari kebenaran adalah tugas utama dan layak (proper) bagi seorang manusia. Di antara makhluk yang ada, hanya manusialah yang memiliki akal budi, yang memungkinkannya untuk berpikir, mendapatkan pengetahuan, dan menemukan kebenaran. Pendidikan merupakan sarana bagi manusia untuk mewariskan kebenaran yang sudah ditemukan dalam sejarah manusia kepada generasi berikutnya.
            Kedua, kemandirian dan profesionalitas. Dalam program pendidikan peserta didik diajar untuk menafsirkan dan memberi komentar. Yang ditekankan di sini, seperti pada seorang master adalah kemandirian dan profesionalitas dalam mengungkapkan pandangan pribadi.
            Ketiga, pengabdian kepada publik. Pendidikan pada akhirnya harus mengarahkan peserta didik pada pengabdian kepada masyarakat banyak. Alasannya adalah setiap manusia adalah makhluk sosial, yang secara hakiki terikat pada manusia lainnya; ia dilahirkan tidak untuk dirinya sendiri, melainkan untuk orang lain juga.
            Menerapkan visi pendidikan yang demikian memang tidak mudah, terlebih ketika pendidikan ditempuh sekadar untuk mendapatkan gelar akademik dan dikejar supaya dapat membantu mendapatkan pekerjaan yang baik. Motif ekonomi pada peserta didik dalam mengejar pendidikan pada akhirnya hanya akan menyuburkan individualisme dalam masyarakat. Tantangannya di sini adalah menumbuhkan dalam diri individu rasa keterikatan dengan negara dan masyarakat supaya selalu ada keinginan untuk memperbaiki situasi negara.
            Keempat, pendidikan hati. Hal ini terlihat dalam penekanannya pada retorika sebagai sebuah metode untuk menggerakkan hati orang dan mengarahkannya pada tindakan positif. Dalam dunia pendidikan, peserta didik lebih banyak diajak untuk meningkatkan keterampilan dan mengungkapkan diri dalam bahasa dan seni. Visi pendidikan yang memadai, selain memuat dimensi kognitif, tentunya harus juga mencakup dimensi afektif dan psikomotorik agar ada keseimbangan. Keputusan yang kita buat pada akhirnya haruslah didasarkan pada pertimbangan hati dan tidak sekadar pertimbangan murni rasional belaka.
            Kelima, tekanan pada dimensi moral. Pendidikan secara hakiki menekankan cara-cara untuk hidup dengan baik (bene vivere). Oleh karena itu, pendidikan moral memegang peranan penting. Bersama dengan metode retorika, metode pendidikan ini dimaksudkan untuk mengembangkan kepribadian peserta didik dan supaya mereka akhirnya sungguh mencintai keutamaan (virtue) dan membenci kejahatan (vice).[2]

C.    Tujuan Umum Pendidikan
            Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. maka pendidikan yang berkelanjutan akan mempunyai tujuan pendidikan.
            Tujuan pendidikan sejati tidaklah hanya mengisi ruang-ruang imajinasi dan intelektual anak, mengasah kepekaan sosialnya, ataupun memperkenalkan mereka pada aspek kecerdasan emosi, tapi lebih kepada mempersiapkan mereka untuk mengenal Tuhan dan sesama untuk pencapaian yang lebih besar bagi kekekalan.

            Tujuan pendidikan secara umum dapat dilihat sebagai berikut:
1.      Tujuan pendidikan terdapat dalam UU No2 Tahun 1985 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia yang seutuhnya yaitu yang beriman dan dan bertakwa kepada tuhan yang maha esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan kerampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan berbangsa.
2.      Tujuan Pendidikan nasional menurut TAP MPR NO II/MPR/1993 yaitu  Meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja profesional serta sehat jasmani dan rohani. Pendidikan nasional juga harus menumbuhkan jiwa patriotik dan memepertebal rasa cinta tanah air, meningkatkan semangat kebangsaan dan kesetiakawaan sosial, serta kesadaran pada sejarah bangsa dan sikap menghargai jasa para pahlawan, serta berorientasi masa depan.
3.      TAP MPR No 4/MPR/1975, tujuan pendidikan adalah membangun di bidang pendidikan didasarkan atas falsafah negara pancasila dan diarahkan untuk membentuk manusia-manusia pembangun yang berpancasila dan untuk membentuk manusia yang sehat jasmani dan rohaninya, memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dapat mengembangkan kreatifitas dan tanggung jawab dapat menyuburkan sikap demokratis dan penuh tenggang rasa, dapat mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti yang luhur, mencintai bangsanya dan mencintai sesama manusia sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam UUD 1945.[3]


BAB III
PEMBAHASAN
A.    Review Pelaksanaan Pendidikan Di Aceh
            Sebelum memprediksi keadaan dunia pendidikan di Aceh pada masa-masa yang akan datang, ada baiknya melakukan review dan penelaahan kembali terhadap praktek pendidikan yang berjalan selama ini. Dengan demikian orientasi pendidikan dapat dilakukan secara lebih objektif.
            Menurut Dr. Zamroni, orientasi itu dapat dikaji berdasarkan empat dimensi yang ada, yaitu status anak didik, peran guru, materi pengajaran, dan manajemen pendidikan.
            Selama ini orientasi pendidikan cenderung memperlakukan anak didik sebagai objek semata yang diberi tugas untuk menerima segala apa yang diberikan oleh gurunya. Peluang untuk tatap muka dalam suasana dialogis hampir-hampir tidak diberikan sama sekali. Proses belajar mengajar berlangsung dalam suasana monolog dan monoton sehingga cenderung menimbulkan kebosanan dan kekakuan.
            Dalam sisi lain guru sering tampil sebagai indoktrinator yang dari hari ke hari menuangkan ilmunya tanpa berusaha mengembangkan potensi anak didiknya. Meskipun guru hanya seorang berhadapan dengan puluhan anak didik, namun suasana belajar kebanyakan didominasi oleh guru. Bila melihat suasana ruangan belajar yang tenang tanpa suara anaka didik, maka hal itu dianggap kesuksesan sang guru untuk meredam suara anak-anak.
            Menyangkut dengan materi pelajaran yang dikembangkan selama ini. kelihatannya cenderung masih dalam bentuk yang tidak permanen. Karena kurikulum sering berubah-ubah ditambah lagi kurang terkaitnya dengan fenomena sosial yang dihadapi masyarakat. Artinya belum sejalan dengan Link and Match yang dikembangkan Mendikbud. Terbatasnya wawasan sang guru dalam memahami fenomena yang muncul ditengah masyarakat menyebabkan kurang tepat dan kurang pekanya mereka mengantisipasi berbagai problema yang dihadapi dunia pendidikan. Akhirnya bermuara pada tidak adanya relevansi pendidikan dengan keinginan masyarakat secara komprehensif.
            Manajemen pendidikan yang berlaku didunia pendidikan kita saat ini kelihatannya masih bersifat sentralisasi yang cenderung menimbulkan suasana yang rigid dan kurang mengakomodasikan aspirasi yang berkembang dalam lapisan bawah atau masyarakat setempat. Segala bentuk kebijaksaan selalu bersumber dan menetes dari atas tidak memancar dari bawah. Akibat dari manajemen pendidikan semacam ini, timbullah berbagai kesenjangan, baik kesenjangan akademik, kesenjangan akupasional, maupun kesenjangan kultural.
            Timbulnya kesenjangan akademik ditandai dengan aplikasi kurikulum yang kurang terkait dengan fenomena sosial yang dihadapi masyarakat. Kesenjangan akademik ini dipahami benar oleh pemerintah sehingga timbullah gagasan perlunya muatan local dalam penerapan kurikulum sekolah. Dengan demikian diharapkan anak didik tidak terlepas dari siklus masyarakat yang membesarkannya.
            Adapun kesenjangan akupasional ialah adanya jurang yang menganga antara dunia pendidikan dan dunia kerja. Lulusan suatu lembaga pendidikan terasa belum cukup matang untuk diterjunkan kebursa kerja, karena kelangsungan pendidikan tidak disejajarkan dengan perkembangan dunia usaha dan lapangan kerja. Hal itulah yang menyebabkan lahirnya ide Link and Match yang bertumpu pada suatu harapan bahwa setiap lulusan lembaga pendidikan bisa terpakai dalam pergulatan bursa kerja atau dengan kata lain kebutuhan tenaga kerja tertentu dapat terisi oleh lembaga pendidikan tertentu pula.
            Kesenjangan cultural ialah peserta didik tidak mapu beradaptasi dengan kehidupan bangsanya yang berjalan begitu cepat. Banyak para siswa yang belum memahami apa arti kehidupan institusi politik dalam Negara kita, apa esensi yang terkandung dalam pesta demokrasi lima tahun (pemilihan umum), apa makna kehadiran lembaga adat, institusi keagamaan, semangat kebangsaan, nilai perjuangan 45, dan lain-lain. Dengan kata lain, pemikiran para siswa tercabut daria kar budaya bangsa dan kurang memiliki ruh nasionalisme.[4]
B.     Kondisi Pendidikan Aceh
            Pendidikan merupakan satu bidang garap yang sangat penting dalam usaha rekonstruksi Aceh pasca-tsunami pada 26 Desember 2004. Bidang pendidikan meliputi baik pembangunan kembali sarana dan prasarana pendidikan, di mana ribuan gedung sekolah hancur akibat gelombang tsunami, maupun sumber daya manusia. Sebagaimana diketahui, sekitar dua ribu lima ratus (2.500) guru (SD hingga SMU) dilaporkan telah meninggal dunia menyusul musibah gempa dan tsunami (Media Indonesia, 7 Januari 2005). Terhadap angka di atas juga masih perlu ditambah jumlah tenaga pengajar perguruan tinggi yang ikut menjadi korban tsunami.(Media Indonesia, 11 Januari 2005).
            Bisa dipastikan bahwa kerusakan sarana dan hilangnya tenaga kependidikan berpengaruh sangat besar terhadap kehidupan masyarakat Aceh. Sebagian anak-anak Aceh harus kehilangan pendidikan yang jelas sangat penting untuk menciptakan generasi masa depan lebih baik. Di samping itu, persoalan mereka menjadi makin parah mengingat bahwa musibah tsunami juga telah meninggalkan trauma psikologis yang sangat besar. Tidak sedikit anak-anak Aceh, dan juga masyarakat secara umum, yang membutuhkan penanganan psikologis khusus akibat musibah ini.
            Oleh karena itu, pembangunan kembali bidang pendidikan merupakan salah satu aspek sangat mendasar dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca musibah gempa dan tsunami. Bersama bidang-bidang penting lain—sosial-budaya, ekonomi dan politik—pembangunan bidang pendidikan mutlak diperlukan, karena akan sangat menentukan masa depan Aceh. Dalam kerangka ini pula, pihak pemerintah bersama pihak swasta dan lembaga asing memberi perhatian sangat besar dalam membangun kembali sarana dan prasarana pendidikan di Aceh. Mereka secara intensif terlibat dalam rehabilitasi dan pembangunan gedung-gedung sekolah, penyelenggaraan pendidikan darurat, dan pembangunan mental anak-anak Aceh yang mengalami trauma psikologisakibat musibah tsunami.
            Banyak yang berpartisipasi dalam program-program pembangunan pendidikan di Aceh. Di samping itu, tantangan riil abad ke-21 ini bagi sektor pendidikan semakin kuat, yang mensyaratkan sekolah untuk memiliki kinerja akademik yang baik, jaminan kualitas pendidikan yang memadai, serta akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan. Dalam hal ini, satu poin penting yang perlu ditekankan adalah bahwa pembangunan sekolah memang didedikasikan bagi pengembangan masyarakat Aceh. Oleh karena itu, nilai-nilai lokal keacehan, yang pada dasarnya sangat identik dengan keislaman dan keindonesiaan menjadi sangat penting dipertimbangkan. Dalam kerangka ini perlu disebut kemanusiaan sebagai satu nilai universal yang juga menjadi landasan orientasi pendidikan di Aceh.
      Dalam pengalaman sejarah Aceh menunjukkan bahwa proses pembentukan budaya Aceh—atau juga disebut keacehan—berlangsung sejalan dengan proses penerimaan Islam oleh masyarakat. Karena itu, Islam secara sangat berarti menjadi satu unsur penting dalam proses pembentukan struktur sosial dan budaya masyarakat Aceh. Ungkapan Aceh sebagai “Serambi Mekkah” pada dasarnya merupakan satu hasil dari proses sejarah di atas. Proses tersebut terus berlangsung ketika Aceh menjadi bagian dari Indonesia. Di sini, keindonesiaan menjadi satu unsur penting lain yang ikut memperkaya proses perkembangan Aceh. Prinsip keindonesiaan atau kebangsaan selanjutnya menjadi satu nilai utama yang dianut masyarakat Aceh.[5]
C.    Tantangan Pendidikan Aceh di Era Kompetitif
            Ada dua event yang muncul pada saat memasuki milenium ketiga. Pertama Globalisasi, diakibatkan kemajuan ilmu dan teknologi terutama komunikasi dan transformasi sehingga dunia menjadi tanpa batas. Hal ini juga memicu lahirnya budaya global.  Event kedua adalah reformasi. Dalam era reformasi ini diharapkan akan muncul Aceh baru. Wajah baru Aceh ini akan memunculkan perbedaan yang kontras dengan wajah lamanya.
            Tantangan globalisasi ini menuntut kepada perhatian yang sungguh-sungguh dari semua lapisan masyarakat untuk menghadapi dampak negatifnya. Tantangan pertama bagi dunia pendidikan adalah tentang kualitas. Di era globalisasi pada dasarnya muncul era kompetisi.
            Berbicara kompetisi adalah berbicara keunggulan. Hanya manusia unggul yang akan survive di dalam kehidupan yang penuh dengan persaingan, karena itu salah satu persoalan yang muncul bagaimana upaya untuk meningkatkan kualitas generasi Aceh. Membentuk generasi unggul partisipatoris yaitu generasi yang ikut serta secara aktif dalam persaingan yang sehat untuk mencari yang terbaik (Tilaar, 1999: 56). Keunggulan partisipatoris itu dengan sendirinya adalah berkewajiban untuk menggali dan mengembangkan seluruh potensi manusia yang akan digunakan dalam kehidupan yang penuh dengan persaingan yang semakin hari semakin tajam (Tilaar, 1999:56).
            Dalam pengembangan “generasi Unggul partisipatoris” diperlukan pengembangan sifat-sifat sebagai berikut:
a.       Kemampuan untuk mengembangkan jaringan kerja sama (network). Networking ini diperlukan karena manusia tidak lagi hidup terpisah-pisah, tetapi telah berhubungan satu dengan lain.
b.      Kerja sama (teamwork). Setiap orang di dalam masyarakat abad 21 mempunyai kesempatan untuk mengembangkan keunggulan spesifiknya. Individu-individu yang telah mengembangkan kemampuan spesifik yaitu membangun teamwork yang pada gilirannya dapat menghasilkan produk-produk yang tinggi mutunya.
c.       Cinta kepada kualitas tinggi, generasi unggul adalah manusia yang terus menerus meningkatkan ilmu pengetahuan dan keterampilan, sehingga dia akan mencapai kualitas tinggi. Kualitas yang dicapai hari ini akan ditingkatkan esok harinya (Tilaar, 1999: 56-57).

            Dalam kehidupan sehari-hari, konsep keungggulan tersebut juga terdiri dari:
a.       Dedikasi dan disiplin, memiliki rasa mengabdi kepada tugas, orang yang telah memiliki sifat tersebut akan diiringi dengan tumbuhnya sikap disiplin.
b.      Jujur, kejujuran yang dikembangkan itu adalah kejujuran terhadap orang lain maupun kejujuran terhadap diri sendiri.
c.       Tekun, generasi unggul adalah generasi yang dapat mefokuskan perhatiannya kepada tugas yang telah dipercayakan kepadanya.
d.      Inovatif, generasi unggul adalah generasi yang terus mencari yang baru, tidak puas dengan status quo.
e.       Ulet, generasi unggul adalah generasi yang tidak mudah putus asa, dia akan terus mencari dan mencari (Tilaar, 1999, 57-59).
            Dengan membentangkan pembicaraan tentang pentingnya membentuk generasi unggul Aceh di abad kompetitif ini, yang tidak boleh tidak upaya pembentukannya itu terpulang kepada pendidikan. Corak pendidikan yang bagaimana yang akan diberikan kepada peserta didik. Berbagai kriteria generasi unggul yang dibentangkan diatas banyak menyangkut tentang soal mental, karenanya pendidikan mental itu merupakan prioritas utama yang akan dilaksanakan saat sekarang ini. Tantangan dunia pendidikan Aceh saat sekarang ini serba kompleks.[6]

D.    Faktor Penunjang Pendidikan di Aceh
            Sebagai daerah istimewa dan otonomi, Aceh memiliki wewenang khusus dalam mengatur roda pemerintahan, termasuk dalam bidang pendidikan. Mengenai pendidikan, UUPA Nomor 11 Tahun 2006 semakin menegaskan keistimewaan Aceh dengan adanya tambahan dana otonomi khusus dan migas. Di dalam pasal 182 UUPA diamanatkan; paling sedikit 30% dari dana bagi hasil migas tersebut dialokasikan untuk membiayai pendidikan Aceh. Begitu juga dalam pasal 193 UUPA disebutkan anggaran untuk penyelenggaraan pendidikan Aceh paling sedikit 20% dari APBA/APBK.
            Pemerintah selaku pengelola kebijakan pendidikan, diantaranya kebijakan anggaran pendidikan, harus memberikan perhatian serius dengan berbagai langkah nyata terhadap perkembangan masa depan dunia pendidikan Aceh. Dana pendidikan yang mencapai triliunan rupiah harus bisa mengakomodir kebutuhan pendidikan bagi masa depan putra-putri Aceh. Hal ini seperti diamanatkan dalam UUD 1945 maupun UUPA.
            Anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBA/APBK dan 30% dari dana bagi hasil migas wajib untuk direalisasikan sepenuhnya dengan pengelolaan yang tepat sasaran, transparan dan akuntabel. Jangan sampai anggaran pendidikan dibajak oleh para mafia anggaran atau maop demi kepentingan kelompok tertentu, dan lebih ironis lagi jika dana pendidikan tersebut dikuras untuk membiayai kepentingan politik tertentu.
            Selain itu, banyak kalangan menganalogikan entitas lembaga pendidikan sebagai prototype dan miniatur dari sebuah tatanan kehidupan berbangsa/bernegara. Maju mundurnya dunia pendidikan akan berdampak pada baik buruknya kehidupan bermasyarakat dan tatanan pemerintahan. Hal ini terlihat dari seberapa handalnya institusi pendidikan dalam memproduksi sumberdaya manusia (SDM) yang kompeten, bermoral dan memiliki kecakapan intelektual.
            Selain itu, sekolah dan perguruan tinggi juga merupakan lokomotif utama pensuplai SDM bagi pembangunan dan perbaikan ekonomi bangsa tentunya memiliki tugas dan tanggung jawab dalam memberikan pencerahan dalam menangani berbagai problematika masyarakat. Butuh kesatuan visi, tekad, serta sinergisitas dari semua elemen lembaga pendidikan untuk berkontribusi bagi perubahan dinamika kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik.
            Selanjutnya, peran dan kualitas dari tenaga pendidik juga menjadi kunci utama bagi lahirnya SDM yang handal, bermoral, dan profesional. Tenaga pendidik tidak hanya melakukan transfer of knowledge, tetapi mampu melakukan construct of knowledge, membangun ketrampilan dan nilai-nilai pendidikan demi terwujudnya generasi yang unggul dimasa mendatang.[7]

E.     Strategi Peningkatan Kualitas Pendidikan Aceh
1.      Keseimbangan dan harmoni
Masyarakat Aceh yang merupakan bahagian dari masyarakat bangsa Indonesia merupakan potensi nasional yang harus dibina dan dikembangkan. Kebutuhan dasarnya (basic need) harus dipenuhi dengan sempurna terutama kebutuhan akan pendidikan dan ilmu pengetahuan. Kemudian dilengkapi pula dengan pengembangan nilai-nilai kemanusiaan, termasuk didalamnya agama, budaya, ekonomi, falsafah dan tradisi. Segi-segi kehidupan yang bertumpu pada nilai-nilai itulah yang perlu dipelajari, dipahami dan dikembangkan sebagai landasan bagi perkembangan kehidupan yang lebih bermakna pada masa yang akan datang. Inilah sebenarnya tantangan dunia pendidikan kita dimasa depan, yaitu tantangan yang dapat meyeimbangkan antara aspek-aspek pengajaran, kebudayaan, keyakinan dan kebangsaan serta berusaha mentransformasikan masyarakat Aceh menuju masyarakat yang maju, damai, sejahtera, mandiri dn berkeadilan.
Dalam strategi keseimbangan itu termasuk pula antara lain kesejajaran antara pengajaran ilmu-ilmu umum dan ilmu agama, meskipun sebenarnya kurang tepat untuk membuat dikotomi antara kedua ilmu tersebut. yang dimaksudkan adalah setiap guru dalam memjelaskan pelajaran yang dipercayakan padanya, perlu melakukan multi pendekatan termasuk pendekatan agama dan moral pancasila. Artinya setiap materi yang diajarkan perlu diberi pengayaan (enrichment) dengan ilmua gama atau analisa keagamaan serta morla kebangsaan yang dapat digali dari falsafah Pancasila.
Dengan demikian keseimbangan dan keharmonisan adalah salah satu strategi pendidikan yang dapat membawa masyarakat kearah yang dicita-citakan sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, yaitu meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, trampil, berdisiplin, beretos kerja, prfesional, bertanggung jawab, dan produktif serta sehat jasmani dan rohani.
Manusia ideal seperti inilah yang diharapkan menjadi produk dan out-put system pendidikan nasional, yang mampu membawa bangsa dan Negara kea rah kemajuan, kedamaian, ketentraman, dan kemandirian.

2.      Keterbukaan
Pendidikan masa depan dapat berwujud dalam bentuk pendidikan yang terbuka dan menerima keterbukaan. Terbuka artinya seluruh insan Indonesia diikut sertakan dalam proses pendidikan dan pengajaran tanpa terkecuali, dengan menikmati fasilitas dan kemudahan dalam segala jenjang pendidikan. Kesejahteraan dalam bidang ekonomi dan sosial telah memungkinkan dan melapangkan jalan kearah pendidikan yang terbuka tersebut.
Sedangkan keterbukaan dimaksudkan siap menerima perbaikan dan penyempurnaan dari manapun datangnya, serta siap pula menerima ilmu dan peradaban yang datang dari luar selama ilmu dan peradaban itu tidak merendahkan martabat bangsa, tidak melunturkan nilai-nilai hidup masyarakat, tidak menyesatkan aqidah umat dan tidak melemahkan daya hidup budaya bangsa.
Melalui strategi keterbukaan ini, lembaga pendidikan dapat menyelenggarakan forum dialog yang membahas berbagai persoalan yang menyangkut kehidupan masyarakat, baik dalam skala lokal, regional, nasional, bahkan dalam skala mondial.
Dengan terlaksananya forum dialog tersebut, akan ikut menrik lebih banyak aspirasi serta kebutuhan dan keinginan masyarakat (people need and interest). Lebih jauh forum ini dapat melahirkan ide-ide baru, konsep dan sekaligus melahirkan solusi terhadap berbagai masalah sosial yang timbul ditengah-tengah masyarakat. Tentu forum ini akan memperluas wawasan dan cara pandang masyarakat terhadap berbagai masalah.

3.      Keteladanan
Dalam mengayomi dunia pendidikan ini, kita selalu dibenturkan pada hal-hal yang menyangkut dengan prilaku pelaksana pendidikan yang sering menunjukkan karakter yang tidak sejalan dengan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh kaum pendidik.
Karena itu, pada setiap insan yang terlibat dalam dunia pendidikan harus ditanamkan sikap-sikap keteladanan, jujur dan kesatria. Para pelaku pendidikan baik Pembina, pendidik, pegawai administrasi dan pekerja harsu menjadi orang yang jujur dan terpercaya serta memberikan keteladanan kepada peserta didik. Sebagai manusia biasa, para pelaku pendidika itu tentu tidak luput dari kesalahan, kekhilafan dan kekurangan. Untuk itu mereka perlu memiliki jiwa yang kesatria , mau mengakui kesalahannya dan berusaha memperbaikinya pada masa yang akan datang.
Oleh sebab itu strategi keteladana ini perlu dikembangkan dalam dunia pendidikan di daerah kita, karena dengan keteladanan itu dapat melahirkan kepatuhan dan ketaatan yang ada pada gilirannya akan menjadi panutan dan kebiasaan yang akan dapat kita turunkan pada anak didik kita. Adapun kuncinya adalah iman dan taqwa yang tertanam dalam lubuk hati para pelaku pendidikan, yang terefleksi dalam sikap yang jujur, disiplin, taat dan bekerja keras dalam bidangnya masing-masing.

4.      Semangat kebangsaan dan cinta tanah air
GBHN 1993 menyebutkan bahwa pendidikan nasional juga harus menumbuhkan jiwa patriotik dan mempertebal rasa cinta tanah air, meningkatkan semangat kebangsaan dan kesetiakawanan sosial serta kesadaran pada sejarah bangsa dan sikap menghargai jasa pahlawan serta berorientasi ke masa depan.
Berangkat dari penegasan GBHN tersebut, maka strategi pendidikan kita harus diarahkan pada pembinaan anak-anak didik agar memiliki jiwa patriotisme semangat kebangsaan dan cinta kepada tanah air. Strategi ini perlu diwujudkan dalam langkah-langkah yang realistic mengingat makin lama generasi muda Indonesia makin jauh dari masa-masa perjuangan fisik merebut dan mempertahankan kemerdekaan kita.[8]

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Melihat kepada pembahasan, analisis, dan persoalan-persoalan tersebut di atas, maka semakin penting kiranya untuk segera mengambil langkah-langkah yang strategis terutama yang berkenaan dengan peningkatan kualitas dan pengembangan sumber daya manusia di Aceh.
Untuk itu dari sekarang perlu ditimbulkan suasana yang mendukung perwujudan kualitas manusia itu, melalui penyempurnaan infra struktur dan supra struktur yang berkaitan dengan pengelolaan dan pembinaan pendidikan di daerah ini. selanjutnya perlu dilakukan berbagai upaya yang dapat mengembalikan citra dunia pendidikan, terutama wibawa pendidik, yang erat kaitannya dengan pembinaan kualitas dan kesejahteraan para pendidik, serta meningkatkan prestasi institusi pendidikan dan anak didiknya. Kesemuanya itu insya Allah akan bermuara pada pengembangan kualitas Ulul Albab sebagai out-put pemantapan dunia pendidikan masa depan di daerah Aceh.

B.     Saran
            Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok dalam hidup manusia. Untuk mendapatkan pendidikan yang baik maka perlu adanya pemahaman mengenai pendidikan secara lebih rinci dan mendalam.
            Sehubungan dengan perbuatan karya tulis ini, kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak, untuk dijadikan landasan dalam penyempurnaan dimasa mendatang.
 

                [1] http://duniabaca.com/definisi-pendidikan.html, diakses pada tanggal 22 November 2011, pukul 21.20
                [2] http://www.dapunta.com, diakses pada tanggal 22 November 2011, pukul 21. 30
                [3] Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam, ( Jakarta: Kencana, 2004), hal. 198
                [4] Badruzzaman Ismail, Perkembangan Pendidikan Di Daerah Istimewa Aceh, (Banda Aceh: Gua Hira’, 1993), hal. 540-542
                [5] http://lhok.sukmabangsa.sch.id, diakses pada tanggal 22 November 2011, pukul 22.00
                [6] Haidar Putra Daulay, Pendidikan…., hal. 199
                [7] http://ideas-aceh.com, diakses pada tanggal 22 November 2011, pukul 22.00
                [8] Badruzzaman Ismail, Perkembangan Pendidikan…., hal. 542-546

Tidak ada komentar:

Posting Komentar