Rabu, 22 Februari 2012

ILMU KALAM: ALIRAN KHAWARIJ


BAB I
PENDAHULUAN
Bila kita mengenal Syiah sebagai pecinta Ali bin Ali Thalib dan keluarganya dengan berlebih-lebihan, maka adalah suatu sekte yang kebalikannya. Ia adalah Khawarij. Yakni mereka yang membenci Ali dengan berlebih-lebihan, mengkafirkannya hingga menghalalkan darahnya. Kaum Khawarij pada asalnya adalah pengikut setia Ali, tetapi kemudian mereka menyatakan keluar dari barisan Ali. Kemunculan Khawarij secara terbuka terjadi menyusul peristiwa tahkim (abitrase) antara Ali dan Muawiyah. Bibit pemikiran Khawarij sebetulnya sudah mulai muncul ketika mereka ikut berperang dalam barisan Ali melawan pasukan Aisyah dalam perang Jamal. Dalam perang itu Ali mengintruksikan pada pasukannya agar jangan membunuh musuh yang terluka, jangan menganiaya yang tak bedaya, jangan mengejar yang lari, jangan merampas harta benda lawan selain yang dipakai di medan perang, dan dilarang menawan anak-anak dan kaum wanita. Saat itu sebagian dari pasukan Ali memprotes, “bagaimana anda menghalalkan darah mereka tatapi mengharamkan harta bendanya?”.Ali menjawab, “Apakah kalian sudi jika salah seorang diantara kalian menawan dan memperbudak ibunya sendiri, yaitu Aisyah”
 Kekecewaan mereka memuncak di perang Shiffin. Saat itu mereka sudah mendesak pasukan Muawiyah. Tetapi Muawiyah mengajak damai dengan hukum al Quran, dan Ali menyambut itu. Ketika naskah kesepakatan ditandatangani pihak Ali dan Muawiyah, lalu kedua pasukan itu meninggalkan Shiffin. Di perjalanan menuju Kuffah, sekitar 12.000 orang dari pasukan ‘Ali memisahkan diri dari rombongan dan membuat markas militer tersendiri di Harura. Mereka mengecam ‘Ali dan menuduhnya telah berbuat kufur serta syirik karena menyerahkan ketetapan hukum pada manusia.
BAB II
PEMBAHASAN
  1. Latar Belakang Kemunculan
Secara etimologis kata khawarij berasal dari bahasa arab, yaitu kharaja yang  berarti keluar, muncul, timbul, atau memberontak. Ini yang mendasari bahwa khawarij disebut sebagai orang yang memberontak iman yang sah. Berdasarkan pengertian etimologi pula, khawarij berarti setiap muslim yang ingin keluar dari kesatuan umat islam.[1]
Adapun yang dimaksud khawarij dalam terminologi ilmu kalam adalah suatu sekte/kelompok/aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima Arbitrase (tahkim), dalam perang shiffin pada tahun 37 H/648 M, dengan kelompok Bughat (pemberontak) Muawiyah bin Abi Sufyan perihal persengketaan khilafah.[2]
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat:
  1. Asy Syahrastani berkata: “ Setiap orang yang memberontak kepada imam yang telah disepakati kaum muslimin disebut khawarij. Sama saja, apakah dia memberontak di masa shahabat kepada al Khulafa ar Rasyidun atau setelah mereka dimasa tabi’in dan para imam di setiap zaman”
  2. Imam al Asy'ary berkata: "Faktor yang menyebabkan mereka disebut khawarij adalah keluarnya mereka dari kekhilafahan Ali bin Abi Thalib"
Imam Abu Hazm menambahkan bahwa istilah Khawarij itu dinisbatkan juga kepada semua kelompok atau hukum yang dahulu keluar dari 'Ali bin Abi Thalib atau yang mengikuti paham mereka, kapan pun itu terjadi.
  1. Al Imam Al Barbahari berkata di dalam Syarhu as-Sunnah: ”setiap orang yang memberontak kepada imam(pemerintah) kaum muslimin adalah khawarij, dan berarti dia telah memecah belah kaum muslimin dan menentang sunnah, serta matinya seperti mati jahiliyyah”.
Khawarij pertama kali muncul pada pertengahan abad ke-7, terpusat di daerah yang kini ada di Irak selatan, dan merupakan bentuk yang berbeda dari Sunni dan Syi'ah. Gerakan Khawarij berakar sejak Khalifah Utsman bin Affan dibunuh, dan kaum Muslimin kemudian mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Ketika itu, kaum Muslimin mengalami kekosongan kepemimpinan selama beberapa hari. Kabar kematian 'Ustman kemudian terdengar oleh Mu'awiyyah bin Abu Sufyan. Mu’awiyyah yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan 'Ustman bin Affan, merasa berhak menuntut balas atas kematian 'Ustman.
Mendengar berita ini, orang-orang Khawarij pun ketakutan, kemudian menyusup ke pasukan Ali bin Abi Thalib. Mu'awiyyah berpendapat bahwa semua orang yang terlibat dalam pembunuhan 'Ustman harus dibunuh, sedangkan Ali berpendapat yang dibunuh hanya yang membunuh 'Ustman saja, karena tidak semua yang terlibat pembunuhan diketahui identitasnya.
Akhirnya meletuslah Perang Siffin karena perbedaan dua pendapat tersebut. Kelompok khawarij pada mulanya memandang Ali dan pasukannya berada dipihak yang benar karena Ali merupakan khalifah sah yang telah di bai’at mayoritas umat islam, sementara Muawiyah berada dipihak yang salah karena memberontak khalifah yang sah. Lagi pula berdasarkan estimasi khawarij, pihak Ali hampir memperoleh kemenangan pada peperangan itu, tetapi karena Ali menerima tipu daya licik ajakan damai Muawiyah, kemenangan yang hampir diraih itu menjadi aib.
Ali sebenarnya telah mencium kelicikan dibalik ajakan damai kelompok Muawiyah sehingga ia bermaksud untuk menolak permintaan itu. Namun, karena desakan sebagian pengikutnya, terutama ahli qurra seperti Al-Asy’ats bin Qais, Mas’ud bin Fudaki At-Tamimi, dan Zaid bin Husein Ath-Tha’i, dengan sangat terpaksa Ali memerintahkan Al-Asytar (komandan pasukannya) untuk menghentikan peperangan.[3]
Setelah menerima ajakan damai, Ali bermaksud mengirimkan Abdullah bin Abbas sebagai delegasi juru damainya, tetapi orang-orang khawarij menolaknya. Mereka beralasan bahwa Abdullah bin Abbas berasal dari kelompok Ali sendiri. Kemudian mereka mengusulkan agar Ali mengirimkan Abu Musa Al-Asy’ari dengan harapan dapat memutuskan perkara berdasarkan kitab Allah. Keputusan tahkim, yakni Ali diturunkan dari jabatannya sebagai khalifah oleh utusannya, dan menganggkat Muawiyah menjadi khalifah pengganti Ali sangat mengecewakan orang-orang khawarij. Mereka membelot dengan mengatakan, “mengapa kalian berhukum kepada manusia. Tidak ada hukum selain hukum yang ada disisi Allah.” Imam Ali menjawab, ”itu adalah ungkapan yang benar, tetapi mereka artikan dengan keliru”. Pada saat itu juga orang-orang khawarij keluar dari pasukan Ali dan langsung menuju Hurura. Itulah sebabnya khawarij disebut juga dengan nama Hururiah. Kadang-kadang mereka disebut juga syurah dan Al-Mariqah.
Dengan arahan Abdullah Al-Kiwa, mereka sampai di Harura. Di Harura, kelompok khawarij melanjutkan perlawanan kepada Muawiyah dan juga kepada Ali. Mereka mengangkat seorang pemimpin yang bernama Abdullah bin Shahab Ar-Rasyibi. Dalam mengajak umat mengikuti garis pemikiran mereka, kaum Khawarij sering menggunakan kekerasan dan pertumpahan darah.

  1. Khawarij dan Doktrin-doktrin Pokoknya
Diantara doktrin-doktrin pokok khawarij adalah sebagai berikut :
1.      Khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat islam.
2.      Khalifah tidak harus berasal dari keturunan arab. Dengan demikian setiap orang muslim berhak menjadi khalifah apabila telah memenuhi syarat.
3.      Khalifah dipilih secara permanen selama yang bersangkutan bersifat adil dan menjalankan syari’at islam. Ia harus dijatuhkan bahkan dibunuh kalau melakukan kezaliman.
4.      Khalifah sebelum Ali (Abu bakar, Umar, dan Utsman) adalah sah, tetapi setelah tahun ke-tujuh dari masa kekhalifahannya, ustman dianggap telah menyeleweng.
5.      Muawiyah dan Amr bin Ash serta Abu Musa Al-Asy’ari juga dianggap menyeleweng dan telah menjadi kafir.
6.      Pasukan perang jamal yang melawan Ali juga kafir.
7.      Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim sehingga harus dibunuh. Yang sangat anarkis (kacau) lagi, mereka menganggap bahwa seorang muslim dapat menjadi kafir apabila ia tidak mau membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir dengan risiko ia menanggung beban harus dilenyapkan pula.
8.      Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka. Bila tidak mau bergabung, ia wajib diperangi karena hidup dalam dar al-harb (Negara musuh).
9.      Seseorang harus menghindar dari pimpinan yang menyeleweng.
10.  Adanya wa’ad dan wa’id (orang yang baik harus masuk surga, sedangkan orang yang jahat harus masuk kedalam neraka).
11.  Amar ma’ruf nahi munkar
12.  Memalingkan ayat-ayat Al-Qur’an yang tampak mutasyabihat (samar).
13.  Qur’an adalah makhluk.
14.  Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan.
Bila dianalisis secara mendalam, doktrin yang dikembangkan kaum khawarij dapat dikategorikan dalam tiga kategori : politik, teologi, dan sosial. Dari poin 1 sampai poin 7 dikategorikan sebagai doktrin politik sebab membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan masalah kenegaraan, khususnya tentang kepala Negara (khilafah).
Khawarij dapat dikatakan sebagai sebuah partai politik. Politik juga ternyata merupakan doktrin sentral khawarij yang timbul sebagai reaksi terhadap keberadaan Muawiyah yang secara teoritis tidak pantas memimpin Negara, karena ia seorang tulaqa. Kebencian ini bertambah dengan kenyataan bahwa keislaman Muawiyah belum lama.
Mereka menolak untuk dipimpin orang yang dianggap tidak pantas. Jalan pintas yang ditempuhnya adalah membunuhnya,termasuk orang yang mengusahakannya menjadi khalifah. Dikumandangkan sikap bergerilya untuk membunuh mereka. Dibuat pulalah doktrin teologi tentang dosa besar sebagaimana tertera pada poin 8 dan 11. Akibat doktrinnya yang menentang pemerintah, khawarij harus menanggung akibatnya. Mereka selalu di kejar-kejar dan ditumpas oleh pemerintah. Kemudian perkembangannya, kelompok ini sebagian besar telah musnah. Sisanya terdapat di Zanzibar, Afrika Utara, dan Arabia Selatan.
Adapun doktrin selanjutnya yakni dari poin 10 sampai 15, dapat dikategorikan sebagai doktrin teologis sosial. Doktrin ini memperlihatkan kesalehan asli kelompok khawarij sehingga sebagian pengamat menganggap doktrin ini lebih mirip dengan doktrin mu’tazilah, meskipun kebenaran adanya doktrin ini dalam wacana kelompok khawarij patut dikaji lebih mendalam.[4]

  1. Perkembangan Khawarij
Khawarij terbagi menjadi delapan besar firqah, dan dari delapan firqah besar tersebut masih terbagi lagi dalam firqah-firqah kecil yang jumlahnya sangat banyak. Pepercahan inilah yang membuat Khawarij menjadi lemah dan mudah sekali dipatahkan dalam berbagai pertempuran menghadapi kekuatan militer Bani Umayyah. Khawarij menganggap perlu pembentukan Republik Demokrasi Arab, mereka menganggap pemerintahan Bani Umayyah sama seperti pemerintahan kaum Aristokrat Barat.
Sekalipun Khawarij telah beberapa kali memerangi Ali dan melepaskan diri dari kelompok Ali, dari mulut mereka masih terdengar kata-kata haq. Iman Al Mushannif misalnya, pada akhir hayatnya mengatakan,”Janganlah kalian memerangi Khawarij sesudah aku mati. Tidaklah sama orang yang mencari kebenaran kemudian dia salah, dengan mencari kebathilan lalu ia dapatkan. Amirul mukminin mengatakan, bahwa Khawarij lebih mulia daripada Bani Umayyah dalam tujuannya, karena Bani Umayyah telah merampas khalifah tanpa hak, kemudian mereka menjadikannya hak warisan. Hal ini merupakan prinsip yang bertentangan dengan Islam secara nash dan jiwanya. Adapun Khawarij adalah sekelompok manusia yang membela kebenaran aqidah agama, mengimaninya dengan sungguh-sungguh, sekalipun salah dalam menempuh jalan yang dirintisnya”.
Khalifah yang adil Umar bin Abdul Azis, menguatkan pendapat khalifah keempat yakni Ali, dalam menilai Khawarij dan berbaik sangka kepada mereka, “Aku telah memahami bahwa kalian tidak menyimpang dari jalan hanya untuk keduniaan, namun yang kalian cari adalah kebahagian di akhirat, hanya saja kalian menempuh jalan yang salah”.
Sebenarnya yang merusak citra Khawarij adalah sikap mereka yang begitu mudah menumpahkan darah, terlebih lagi darah umat Islam yang menentang atau berbeda dengan pemikiran mereka. Dalam pandangan mereka darah orang Islam yang menyalahi pemikiran mereka lebih murah dibanding darah non-Muslim.[5]
Tokoh-tokoh utama Khawarij antara lain:
2.      Urwah bin Hudair
3.      Mustarid bin Sa'ad
4.      Hausarah al-Asadi
5.      Quraib bin Maruah
6.      Nafi' bin al-Azraq
Adapun aliran yang dapat dikategorikan sebagai sebagai aliran khawarij, yaitu sebagai berikut:
a.       Mudah mengafirkan orang yang tidak segolongan dengan mereka walaupun orang itu adalah penganut agama islam.
b.      Islam yang benar adalah islam yang mereka pahami dan amalkan, sedangkan islam sebagaimana yang dipahami dan diamalkan golongan lain tidak benar.
c.       Orang-orang islam yang tersesat dan menjadi kafir perlu dibawa kembali keislam yang sebenarnya, yaitu islam seperti mereka pahami dan amalakn.
d.      Karena pemerintahan dan ulama yang tidak sepaham dengan mereka adalah sesat, maka mereka memilih imam dari golongan mereka sendiri, yakni imam dalam arti pemuka agama dan pemuka pemerintahan.
e.       Mereka bersifat fanatik dalam paham dan tidak segan-segan menggunakan kekerasan dan membunuh untuk mencapai tujuan mereka.[7]
  1. Sekte-sekte Khawarij
a.       Al-Muhakkimah
Golongan khawarij asli dan terdiri dari pengikut-pengikut Ali disebut Al-Muhakkimah. Bagi mereka, Ali, Muawiyah, kedua pengantara Amr bin Ash dan Abu Musa Al-Asy’ari dan semua orang yang menyetujui arbitrase bersalah dan menjadi kafir. Selanjutnya hukum kafir ini mereka luaskan artinya sehingga termasuk kedalamnya tiap orang yang berbuat dosa besar.
Berbuat zina dipandang sebagai salah satu dosa besar, maka menurut paham golongan ini orang yang mengerjakan zina telah menjadi kafir dan keluar dari islam. Begitu pula membunuh sesama manusia tanpa sebab yang sah adalah dosa besar. Maka perbuatan membunuh manusia menjadikan si pembunuh keluar dari islam dan menjadi kafir. Demikian juga dengan dosa-dosa besar lainnya.
b.      Al-Azariqah
Golongan yang dapat menyusun barisan baru dan besar lagi kuat sesudah golongan Al-Muhakkimah hancur adalah golongan Azariqah. Daerah kekuasaan mereka terletak diperbatasan Iraq dengan iran. Nama ini diambil dari Nafi ibn Al-Azraq. Pengikutnya berjumlah lebih dari 20 ribu orang. Khalifah pertama yang mereka pilih ialah Nafi sendiri dan kepadanya mereka beri gelar Amir Al-Mukminin. Nafi mati dalam pertempuran di Iraq pada tahun 686 M.
Subsekte ini sikapnya lebih radikal dari Al-Muhakkiamh. Mereka tidak lagi memakai term kafir, tetapi term musyrik atau polytheist. Dan didalam islam syirik merupakan dosa yang terbesar, lebih besar dari kufr. Selanjutnya yang diapndang musyrik ialah semua orang islam yang tak sepaham dengan mereka. Bahkan orang islam yang sepaham dengannya, tetapi  tidak mau berhijrah kelingkungan mereka juga dipandang musyrik. Dan barang siapa yang datang kepadanya dan mengaku pengikut Al-Azariqah tidaklah diterima begitu saja, tetapi harus diuji. Kepadanya diserahkan seorang tawanan. Kalau tawanan ini ia bunuh, maka ia diteriam dengan baik; tetapi kalau tawanan ini tidak dibunuhnya, maka kepalanya sendiri yang mereka penggal.
c.       An-Nadjat
Nadjah ibn Amir Al-Hanafi dari yamamah dengan pengikut-pengikutnya pada mulanya ingin menggabungkan diri dengan golongan al-Azariqah. Tetapi dalam golongan yang tersebut akhir ini timbul perpecahan. Sebagian dari pengikut-pengikut Nafi tidak dapat menyetujui paham bahwa orang Azraqi yang tak mau berhijrah ke dalam lingkungan al-Azariqah adalah musyrik. Sehingga mereka dapat menarik Najdah kepihak mereka dan bersatu membentuk imam yang baru.
Najdah berpendapat bahwa orang berdosa besar yang menjadi kafir dan kekal dalam neraka hanyalah orang islam yang tak sepaham dengan golongannya. Adapun pengikutnya jika mengerjakan dosa besar, betul akan mendapat siksaan, tetapi bukan dalm neraka, dan kemudian akan masuk surga.  Seterusnya ia berpendapat bahwa yang diwajibkan bagi tiap-tiap muslim adalah mengetahui Allah dan rasul-Nya, mengetahui haram membunuh orang islam dan percaya pada seluruh apa yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya, sehingga orang yang tidak mengetahui ini tidak dapat diampuni.
d.      Al- Ajaridah
Mereka adalah pengikut dari Abd al-Karim ibn Ajrad. Kaum al-Ajaridah bersifat lebih lunak karena menurut paham mereka berhijrah bukanlah merupakan kewajiban sebagai diajarkan oleh Nafi dan Najdah, tetapi hanya merupakan kebajikan. Dengan demikian kaum Ajaridah boleh tinggal diluar daerah kekuasaan mereka dengan tidak dianggap menjadi kafir. Disamping itu harta yang boleh dijadikan rampasan perang hanyalah harta orang yang telah mati terbunuh. Sedang menurut al-Azariqah seluruh harta musuh boleh dijadikan rampasan perang.
e.       Al-Ibadiyah
Golongan ini merupakan golongan yang paling moderat dari seluruh golongan khawarij. Namanya diambil dari Abdullah ibn Ibad, yang pada tahun 686 M, memisahkan diri dari golongan al-Azariqah. Paham moderat mereka dapat dilihat dari ajaran-ajaran berikut:
1)      Orang islam yang tak sepaham dengan mereka bukanlah mukmin dan bukanlah musyrik, tetapi kafir.
2)      Daerah orang islam yang tak tak sepaham dengan mereka, kecuali camp pemerintah merupakan dar tawhid, daerah orang yang meng-Esa-kan Tuhan, dan tak boleh diperangi, hanyalah ma’askar pemerintah.
3)      Orang islam yang berbuat dosa besar adalah muwahhid yang meng-Esa-kan tuhan, tetapi bukan mukmin dan bukan kafir al-millah, yaitu kafir agama.
4)      Yang boleh dirampas dalam perang hanyalah kuda dan senjata. Emas dan perak harus dikembalikan kepada orang empunya.
f.       As-Sufriyah.
Pemimpin golongan ini adalah Ziad ibn al-Asfar. Dalam paham, mereka dekat sama dengan dengan golongan al-Azariqah. Hal-hal yang membuat mereka kurang ekstrim dari yang lain adalah pendapat-pendapat berikut:
1)      Orang Sufriah yang tidak berhijrah tidak dipandang kafir.
2)      Mereka tidak berpendapat bahwa anak-anak kaum musyrik boleh dibunuh.
3)      Selanjutnya tidak semua mereka berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar menjadi musyrik.
4)      Daerah golongan islam yang tak sepaham dengan mereka bukan dar harb yaitu daerah yang harus diperangi; yang diperangi hanyalah ma’askar atau camp pemerintah sedang anak-anak dan perempuan tak boleh dijadikan tawanan.
5)      Kurf dibagi dua: kurf bin inkar al-ni’mah yaitu mengingkari nikmat tuhan dan kurf bi inkar al-rububiyah yaitu mengingkari tuhan. Dengan demikian term kafir tidak selamanya harus berarti keluar dari islam.[8]
Adapun sekte yang lainnya yaitu As- Saalabiyah dan Al-Baihasiyah.
Semua subsekte ini membicarakan persoalan hukum bagi orang yang berbuat dosa besar, apakah ia masih dianggap mukmin atau telah menjadi kafir. Tampaknya, doktrin ini tetap menjadi primadona dalam pemikiran mereka, sedangkan doktrin-doktrin lain hanya pelengkap saja. Sayangnya, pemikiran subsekte ini lebih bersifat praktis daripada teoritis, sehingga kriteria mukmin atau kafirnya seseorang menjadi tidak jelas.
Tindakan kelompok khawarij ini merisaukan hati umat islam saat itu, sebab dengan cap kafir yang diberikan salah satu subsekte tertentu kahawarij, jiwa seseorang harus melayang, meskipun oleh subsekte lain ia masih dikategorikan sebagai mukmin. Bahkan dikatakan bahwa jiwa seorang yahudi atau majusi masih lebih berharga dibandingakan dengan jiwa seorang mukmin. Kendatipun demikian, ada sekte khawarij yang agak lunak, yaitu sekte nadjiyat dan ibadiyah. Keduanya membedakan antara kafir nikmat dengan kafir agama. Kafir nikmat hanya melakukan dosa dan tidak berterima kasih kepada Allah. Orang semacam ini tidak perlu dikucilkan dalam masyarakat.[9]

  1. Syubhat Pemikiran Khawarij dan Bantahan Terhadapnya
Ciri yang menonjol dari aliran khawarij adalah watak yang ekstrimitas dalam memutuskan persoalan-persoalan kalam. Hal ini disamping didukung oleh wataknya yang keras akibat kondisi geografis gurun pasir, juga di bangun atas dasar pemahaman tekstual atas nash-nash Al-qur’an dan Hadis. Tak heran kalau aliran ini memiliki pandangan ekstrim pula tentang status pelaku dosa besar. Mereka memandang bahwa orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim adalah kafir. Berdasarkan firman Allah pada surat Al-Maidah ayat 44.
“barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”.
Semua pelaku dosa besar menurut semua subsekte khawarij, kecuali najdah adalah kafir dan akan disiksa dineraka selamanya.[10] Oleh karena itu, para ulama membantah pemikiran khawarij tersebut dengan bantahan sebagai berikut:
a)      Al-Jashshash Rahimahullahu berkata :'Khawarij telah mentakwilkan ayat ini untuk mengkafirkan orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah, meski tanpa adanya pengingkaran'.
b)      Abu Hayyan berkata: 'Khawarij berdalil dengan ayat ini untuk menyatakan bahwa orang yang berbuat maksiat kepada Allah itu kafir.Mereka mengatakan : Ayat ini adalah nash pada setiap orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah, bahwa dia itu kafir.
c)      Ibnu Abbas, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Qayyim berpendapat: "Mereka adalah orang-orang yang suka menta'wilkan ayat sesuai hawa nafsu mereka, mereka telah sesat ketika menganggap bahwa ta'wilan merekalah yang dimaksud dalam nash".
d)     Imam Ibnu Abil 'Izz Rahimahullahu mengatakan : ‘Kejelekan/kekeliruan dalam memahami apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya, merupakan sumber segala bentuk bid'ah dan kesesatan yang muncul dalam agama Islam. Dan ini merupakan pangkal kesalahan dalam masalah ushul (prinsip) atau furu' (cabang), terlebih lagi jika ditambah dengan adanya keburukan niat.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Iftiraqul Ummah adalah sunnatullah. Hadits Ralulullah tentang terbaginya umat ini menjadi 73 golongan, adalah sinyalemen akan terpecahnya umat ini. Dari 73 golongan itu hanya ada yang selamat (firqatu an-Najiyah). Mengenal Firqatu an-Najiyah adalah suatu keniscaan, pun tidak boleh dilewatkan 73 golongan sesat lainnya.
Khawarij adalah salah satu firqah yang tersesat itu. Pemikiran dan aqidahnya sangatlah berbahanya, sekte ini mengkafirkan pelaku dosa, sebagai orang kafir tanpa merinci apakah seorang hamba ketika melakukan maksiat itu dengan kerelaan hati atau tidak. Mengenal pemikiran-pemikiran mereka adalah agar kita terhindar dan terjerumus ke dalamnya.


DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Harun. 2002. Teologi Islam; Aliran-aliran, Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-Press
Rozak, Abdul dan Rosihon Anwar. 2007.  Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia
Abbas, Siradjuddin. 1977. I’itiqad AhlussunnahWal-Jama’ah. Jakarta: Pustaka  Tarbiyah


[1] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007)hal. 49
[2] Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran, Sejarah Analisa Perbandingan  (Jakarta: UI-Press,2002) hal. 11
[3] Siradjuddin Abbas, I’itiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1977) hal.153
[4] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam….hal.51
[5] Ibid, hal. 54
[6] Siradjuddin Abbas, I’itiqad….hal. 156
[7] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam….hal. 55
[8] Harun Nasution, Teologi Islam….hal.15-22
[9] Ibid, hal.55
[10] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam….hal. 133

Tidak ada komentar:

Posting Komentar