Rabu, 22 Februari 2012

AKHLAK TASAWUF: TASAWUF AKHLAKI


BAB I
PENDAHULUAN
            Pada prinsipnya, tasawuf adalah ilmu tentang moral islam, setidaknya sampai pada abad keempat hijriah. Pada periode ini, aspek moral tasawuf berkaitan erat dengan pambahasan tentang jiwa, klasifikasinya, kelemahan-kelemahannya, penyakit-penyakit jiwa dan sekaligus mencari jalan keluarnya atau pengobatannya. Dengan kata lain, pada mulanya tasawuf ini ditandai ciri-ciri psikologis dan moral, yaitu pembahasan analisis tentang jiwa manusia dalam upaya menciptakan moral yang sempurna.
            Menurut para sufi, satu-satunya jalan yang dapat mengantarkan seseorang ke hadirat Allah hanyalah dengan kesucian jiwa. Sebab, jiwa manusia merupakan refleksi atau pancaran dari cahaya Ilahi yang suci, maka segala sesuatu itu harus suci dan sempurna (ferfection), sekaligus tingkat kesucian dan kesempurnaan itu ada variasinya sesuai dengan dekat dan jauhnya dari sumber aslinya, yaitu Allah SWT. Untuk mencapai tingkat kesucian dan kesempurnaan jiwa, memerlukan latihan pembinaan yang berat dan lama. Oleh karena itu, pada tahap pertama, teori dan amalan tasawuf diformulasikan pada pengaturan sikap mental dan pendisiplinan diri yang keras dan ketat. Dengan kata lain, agar dapat berada di hadirat Allah, manusia harus terlebih dahulu mengidentifikasikan keberadaan dirinya dengan ciri-ciri ketuhanan melalui penyucian jiwa raganya sehingga tercipta pribadi yang berakhlak mulia.
            Dalam proses penyucian itu, seorang hamba harus selalu menyandarkan kekuatannya kepada Allah, sebab dengan begitu seseorang dapat membersihkan hati dan jiwanya dari hal-hal yang bisa membuatnya keruh. Ketika jiwa sesorang beroperasi, lalu sebagian sifat yang dimiliki terlihat oleh penglihatannya sendiri yang cenderung kritis, maka ia akan segera meninggalkannya dan berlari menuju Allah yang Maha Kuasa.
           
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tasawuf Akhlaki
Tasawuf akhlaki, jika ditinjau dari sudut bahasa merupakan bentuk frase atau dalam kaidah bahasa Arab dikenal dengan sebutan jumlah idhafah. Frase jumlah idhafah merupakan gabungan dari dua kata menjadi satu kesatuan makna yang utuh dan menentukan realitas yang khusus, yaitu kata ‘tasawuf’ dan ‘akhlak’.
Secara etimologis, tasawuf akhlaqi bermakna membersihkan tingkah laku atau saling membersihkan tingkah laku. Jika konteksnya adalah manusia, tingkah laku manusia menjadi sasarannya. Tasawuf akhlaqi ini bisa dipandang sebagai sebuah tatanan dasar untuk menjaga akhlak manusia, atau dalam bahasa sosialnya, yaitu moralitas masyarakat.
Oleh karena itu, tasawuf akhlaqi merupakan kajian ilmu yang sangat memerlukan praktik untuk menguasainya. Tidak hanya berupa teori sebagai sebuah pengetahuan, tetapi harus terealisasi dalam rentang waktu kehidupan manusia.[1]
Di dalam diri manusia juga ada potensi-potensi atau kekuatan-kekuatan. Ada yang disebut dengan fitrah yang cenderung kepada kebaikan. Ada juga yang disebut dengan nafsu yang cenderung kepada keburukan. Jadi, tasawuf akhlaqi akan berkonstrasi pada teori-teori perilaku dan perbaikan akhlak.[2]
B.     Tokoh dan Ajaran-ajaran Tasawuf Akhlaki
Untuk memahami lebih dalam mengenai ajaran-ajaran tasawuf akhlaki, berikut ini akan diuraikan tentang biografi tokoh-tokoh sufi beserta ajarannya.
1.      Hasan Al-Bashri
a.       Riwayat Hidup
Hasan Al-Bashri yang nama lengkapnya Abu Said Al-hasan bin Yasar, adalah seorang zahid yang sangat masyhur dikalangan tabi’in. Ia dilahirkan di Madinah pada tahun 21 H. (632 M) dan wafat pada hari kamis bulan rajab tanggal 10 tahun 110 H (728 H). Ia dilahirkan dua malam sebelum Khalifah Umar bin Khaththab wafat.
Dialah yang mula-mula menyediakan waktunya untuk memperbincangkan ilmu-ilmu kebathinan, kemurnian akhlak, dan usaha mensucikan jiwa di Masjid Bashrah. Ajaran-ajarannya tentang kerohaniawan senantiasa didasarkan pada sunnah Nabi. Karir kependidikan hasan Al-Bashri dumulai dari Hijaz. Ia berguru hampir kepada seluruh ulama disana. Bersama ayahnya, ia kemudian pindah ke Bashrah, tempat yang membuatnya masyhur dengan nama Hasan Al-Bashri. Puncak keilmuannya ia peroleh disana.
Hasan Al-Bashri terkenal dengan keilmuannya yang sangat dalam. Tak heran kalau ia menjadi imam di bashrah khususnya dan daerah-daerah lainnya. Di samping dikenal sebagai zahid, ia pun dikenal sebagai seorang tang wara’ dan berani dalam memperjuangkan kebenaran. Diantara karya tulisnya, ada yang berisi kecaman terhadapa aliran kalam Qadariyah dan tafsir-tafsir Al-Qur’an.[3]
b.       Ajaran-ajaran Tasawufnya
Abu Na’im Al-Ashbahani menyimpulkan pandangan tasawuf Hasan Al-Bashri sebagai berikut, “Takut (khauf) dan pengharapan (raja’) tidak akan dirundung kemuraman dan keluhan; tidak pernah tidur senang karena mengingat Allah”. Pandangan tasawufnya yang lain adalah anjuran kepada setiap orang untuk senantiasa bersedih hati dan takut kalau tidak mampu melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi seluruh larangan-Nya. Lebih jauh Hamkah mengemukakan sebagian ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri seperti ini:
1)      Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tentram lebih baik dari pada rasa tentram yang menimbulkan perasaan takut.
2)      Dunia adalah negeri tempat beramal. Barang siapa bertemu dunia dengan perasaan benci dan zuhud, ia akan berbahagia dan memperoleh faedah darinya. Namun, barang siapa bertemu dunia dengan perasaan rindu dan hatinya tertambat dengan dunia, ia akan sengsara dan akan berhadapan dengan penderitaan yang tidak dapat ditanggungnya.
3)      Tafakkur membawa kita kepada kebaikan dan selalu berusaha untuk mengerjakannya.
4)      Dunia ini adalah seorang janda tua yang telah bungkuak dan beberapa kali ditinggalkan mati suaminya.
5)      Orang yang beriman akan senantiasa berduka cita pada pagi dan sore hari karena berada diantara dua perasaan takut: takut mengenang dosa yang telah lampau dan takut memikirkan ajal yang masih tinggal serta bahaya yang akan mengancam.
6)      Hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa mengancamnya, dan juga takut akan kiamat yang hendak menagih janjinya.
7)       Banyak duka cita di dunia memperteguh seemangat amal sholeh.[4]

2.      Al-Muhasibi
Al-Harits bi Asad Al-Muhasibi, menempuh jalan tasawuf karena hendak keluar dari keraguan yang dihadapinya. Tatkala mengamati madzhab-mazdhab yang dianut umat Islam, Al-Muhasibi menemukan kelompok didalamnya. Di antara mereka ada sekelompok orang yang tahu benar tentang keakhiratan, namun jumlah mereka sangat sedikit. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang mencari ilmu karena kesombongan dan motivasi keduniawian.
Al-Muhasibi memandang bahwa jalan keselamatan hanya dapat ditempuh melalui ketakwaan kepada Allah, melaksanakan kewajiban-kewajiban, wara’, dan meneladani Rasulullah. Menurut Al-Muhasibi, tatkala sudah melaksanakan hal-hal diatas, maka seseorang akan diberi petunjuk oleh Allah berupa penyatuan antara fiqih dan tasawuf. Ia akan meneladani Rasulullah dan lebih mementingkan akhirat daripada dunia.
a.       Pandangan Al-Muhasibi Tentang Ma’rifat
Al-Muhasibi mengatakan ma’rifat harus ditempuh melalui jalan tasawuf yang berdasarkan pada kitab dan sunnah. Selaras dengan hadis Rasulullah yang berbunyi, “Pikirkanlah makhluk-makhluk Allah dan jangan coba-coba memikirkan tentang dzat Allah sebab kalian akan tersesat karenanya”. Al-Muhasibi menjelaskan tahapan-tahapan ma’rifat sebagai berikut :[5]
1)      Awal kecintaan kepada Allah adalah taat, yaitu wujud konkret ketaatan hamba kepada Allah.
2)      Aktivitas anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya yang memenuhi hati merupakan tahap ma’rifat selanjutnya.
3)      Allah menyingkapkan khazanah-khazanah keilmuan dan kegaiban kepada setiap orang yang telah menempuh kedua tahap diatas. Ia akan menyaksikan berbagai rahasia yang selama ini disimpan Allah.
4)      Tahap keempat adalah apa yang dikatakan oleh sementara sufi dengan fana’ yang menyebabkan baqa’.
b.      Pandangan Al-Muhasibi tentang Khauf dan Raja’
Dalam pandangan Al-Muhasibi, khauf (rasa takut) dan raja’ (pengharapan) menempati posisi penting dalam perjalanan seseorang membersihkan jiwa. Ia memasukkan kedua sifat itu dengan etika-etika, keagamaan lainnya, yakni, ketika disifati dengan khauf dan raja’, seseorang secara bersamaan disifati pula oleh sifat-sifat lainnya. Pangkal wara’, menurutnya adalah ketakwaan; pangkal ketakwaan adalah introspeksi diri (musabat Al-nafs); pangkal introspekasi diri adalah khauf dan raja’; pangkal khauf dan raja’ adalah pengetahuan tentang janji dan ancaman Allah; pangkal pengetahuan tentang keduanya adalah perenungan.
Raja’dalam pandangan Al-Muhasibi, seharusnya melahirkan amal shaleh. Seseorang yang telah melakukan amal shaleh, berhak mengharap pahala dari Allah. Dan inilah yang dilakukan oleh mukmin sejati dan para sahabat nabi sebagaimana digambarkan oleh ayat: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[6]

3.       Al-Qusyairi
a.       Riwayat Hidup Al-Qusyairi
Nama lengkap Al-Qusyairi adalah ‘Abdul Karim bin hawazin lahir pada tahun 376 H di Istiwa, kawasan Nishafur yang merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan pada masanya. Disinilah ia bertemu dengan gurunya, Abu ‘Ali Ad-Daqqaq, seorang sufi terkenal. Al-Qusyairi selalu menghadiri mejelis gurunya dan dari gurunyalah Al-Qusyairi menempuh jalan tasawuf. Sang guru menyarankan untuk mengawasinya dengan mempelajari syari’at. Karena itu, Al-Qusyairi lalu mempelajari fiqih pada seorang faqih, Abu Bakr Muhammad bin Abu Bakr Ath-Thusi (wafat tahun 405 H), da mempelajari ilmu kalam serta ushul fiqh pada Abu Bakr bin Farouq (wafat tahun 406 H). selain ityu ia pun menjadi murid Abu Ishaq Al-Isfarayani (wafat tahun 418 H) dan menelaah karya-karya Al-Baqillani.[7]
b.      Ajaran-ajaran Tasawuf Al-Qusyairi
Apabila karya Al-Qusyairi Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah dikaji secara mendalam, akan tampak jelas bagaimana Al-Qusyairi cenderung mengembalilkan tasawuf keatas landasan doktrin ahlus sunnah, sebagaimana pernyataannya :
“Ketahuilah! Para tokoh aliran ini (maksudnya para sufi) membina prinsip-prinsip trasawuf atas landasan tauhid yang benar, sehingga doktrin mereka terpelihara dari penyimpangan. Selain itu, mereka lebih dekat dengan tauhid kaum salaf maupun ahlus-sunnah, yang tak tertandingi dan tak mengenal macet. Mereka pun tahu hak yang lama, dan bisa mewujudkan sifat ssuatu yang diadakan dari ketiadaannya. Karena itu tokoh aliran ini, Al-Junaid mengatkan bahwa tauhid adalah pemisah hal yang lama dengan hal yang baru. Landasan doktrin-doktrin mereka pun didasarkan pada dalil-dalil dan bukti yang kuat serta gamblang. Abu Muhammad Al-Jariri mengatakan bahwa barang siapa tidak mendasarkan ilmu tauhid pada salah satu pengokohnya, niscaya kakinya tergelincir kedalam jurang kehancuran”.
Selain itu, Al-Qusyairi pun mengecam keras para sufi pada masanya yang gemar mempergunakan pakaian orang-orang miskin, sedangkan tindakan mereka bertentangan dengan pakaian mereka. Ia menekankan bahwa kesehatan bathin, dengan berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-sunnah, lebih penting dibandingkan dengan pakaian lahiriyah.
 Karena itu pula, Al-Qusyairi menyatakan bahwa ia menulis risalahnya karena dorongan perasaan sedihnya ketika ia melihat hal-hal yang menimpa jalan tasawuf. Ia tidak bermaksud menjelek-jelekkan salah seorang dari kelompok tersebut dengan mendasarkan diri pada penyimpangan sebagian penyerunya. Risalahnya itu menurutnya, hanya sekedar “pengobat keluhan” atas apa yang menimpa tasawuf pada masanya. Dari uraian ini tampak jelasbahwa pengembalian arah tasawuf, menurut Al-Qusyairi, dapat dilakukan dengan merujuknya pada doktrin ahlus sunnah wal jamaah, yaitu dengan mengikuti para sufi sunni abad ketiga dan keempat hijriyah sebagaimana diriwayatkannya dalam Ar-Risalah.[8]
4.      Al-Ghazali
a.       Biografi Singkat Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy Syafi’i Al-Ghazali dan mendapat gelar “Hujjah Al-Islam”. Ia dipanggil Al-Ghazali karena dilahirkan di Ghazlah, sutu kota di Khurasan, Iran. Pada tahun 450 H / 1058 M, tiga tahun setelah kaum saljuk mengambil alih kekuasaan di Baghdad. Ayah Al-Ghazali adalah seorang pemintal kain wol miskin yang taat, menyenangi ulama, dan aktif menghadiri majelis-majelis pengajian. Ketika menjelang wafatnya, ayahnya menitipkan Al-Ghazali dan adiknya yang bernama Ahmad kepada seorang sufi.
Sufi tersebut mendidik dan mengajar keduanya sampai suatu hari harta titipan dari ayahnya habis dan sufi itu tidak mampu lagi memberi makan keduanya. Selanjutnya sufi itu menyarankan kedua anaknya untuk belajar pada pengelola sebuah madrasah sekaligus untuk menyambung hidup mereka. Di madrasah inilah Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqih kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Rizkani. Kemudian Al-Ghazali memasuki sekolah tinggi Nizhamiyah di Naisabur, dan disinilah ia belajar kepada Imam Haramain hingga menguasai ilmu mantiq, ilmu kalam, fiqih-ushul fiqih, tasawuf, dan retorika perdebatan.
Setelah Imam Haramain wafat (478 H / 1086 M), Al-Ghazali pergi ke Baghdad, yaitu kota tempat berkuasanya Nizham Al-Muluk. Kota ini merupakan tempat berkumpul sekaligus tempak diselenggarakannya perdebatan antar ulama-ulama terkenal. Sebagai seorang yang menguasai retorika perdebatan, ia terpancing untuk melibatkan diri dalam perdebatan-perdebatan itu dan sering mengalahkan ulama-ulama ternama, sehingga mereka pun tidak segan-segan mengakui keunggulan Al-Ghazali.
setelah menemukan kebenaran hakiki pada akhir hidupnya, maka tidak lama kemudian ia menghembuskan nafasnya yang terakhir di Thus pada tanggal 19 Desember 1111 Masehi atau pada hari senin 14 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriyah dengan banyak meninggalkan karya tulisnya.[9]
b.      Ajaran Tasawuf Al-Ghazali
Di dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi ditambah dengan doktrin ahlus sunnah wal jamaah. Dari faham tasawufnya itu, ia menjauhkan semua kecenderungan gnostis yang mempengaruhi para filosof Islam, sekte Ismailiyah, aliran syiah, Ikhwan As-Shafa, dan lain-lain. Ia menjauhkan tasawufnya dari faham ketuhanan Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan. Itulah sebabnya, dapat dikatakan bahwa tasawuf Al-Ghazali benar-benar bercorak Islam. Corak tasawufnya adalah psiko-moral yang mengutamakan pendidikan moral. Hal ini dapat dilihat dalam kerya-karyanya, seperti Ihya’ Ulum Al-Din, Minhaj Al-‘Abidin, Mizan Al-Amal, Bidayah Al-Hidayah, Mi’raj Al-Salikin a, Ayyuhal Walad.
1)      Pandangan Al-Ghazali tentang Ma’rifat
Menurut Al-Ghazali, sebagaimana dijelaskan oleh Harun Nasution, ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada. Alat memperoleh ma’rifat bersandar pada sir, qalb, dan roh. Di dalam kitab Ihya’ Ulum Ad-Din, Al-Ghazali membedakan jalan pengetahuan untuk sampai kepada Tuhan bagi orang awam, ulama, dan orang arif (sufi). Ia membuat perumpamaan tentang keyakinan bahwa si Fulan adan di dalam rumah. Keyakinan orang awam di bangun atas dasar taklid, yaitu hanya mengikuti perkataan orang bahwa si Fulan ada di dalam rumah, tanpa menyelidikinya lagi. Bagi ulama, keyakinan adanya si Fulan di rumah di bangun atas dasar adanya tanda-tanda, seperti suaranya yang terdengar walaupun tidak kelihatan orangnya. Sementara orang arif tidak hanya melihat tanda-tandanya melalui suara di balik dinding. Lebih jauh dari itu, ia pun memasuki rumah dan menyaksikan dengan mata kepalanya bahwa si Fulan benar-benar berada di dalam rumah.
Ma’rifat seorang sufi tidak dihalangi oleh hijab, sebagaimana ia melihat si Fulan ada dalam rumah dengan mata kepalanya sendiri. Ringkasnya, ma’rifat menurut Al-Ghazali tidak seperti ma’rifat menurut orang awam maupun ma’rifat ulama/mutakallim, tetapi ma’rifat sufi yang dibangun atas dasar dzaug rohani dan kasyf Illahi. Ma’rifat semacam ini dapat dicapai oleh para khawas auliya’ tanpa melalui perantara atau langsung dari Allah sebagaimana ilmu kenabian yang diperoleh langsung dari Tuhan walaupun dari segi perolehan ilmu ini, berbeda antara nabi dan wali. Nabi mendapat ilmu Allah melalui perantara malaikat, sdangkan wali mendapat ilmu melalui ilham. Namun keduanya sama-sama memperoleh ilmu melalui Allah.
2)      Pandangan Al-Ghazali tentang As-sa’adah
menurut Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi dan melihat Allah. Di dalam kitab kimiya’ nya ‘As’adah, ia menjelaskan bahwa As-Sa’adah atau (kebahagian) itu sesuai dengan watak (tabiat). Sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaan-Nya; nikmatnya mata terletak ketika melihat gambar yang bagus dan indah; nikmatnya telinga terlatak pada mendengar suara yang merdu. Demikian juga seluruh anggota tubuh, mempunyai kenikmatan tersendiri.
Kenikmatan qalb sebagai alat memperoleh ma’rifat terletak ketika melihat Allah. Melihat Allah merupakan kenikmatan agung yang tiada taranya karena ma’rifat itu sendiri agung dan mulia. Oleh karena itu, kenikmatannya melebihi kenikmatan lainnya. Kelezatan dan kenikmatan dunia bergantung pada nafsu dan akan hilang setelah manusia mati, sedangkan kelezatan dan kenikmatan melihat Tuhan bergantung pada qalb dan tidak akan hilang walaupun manusia sudah mati. Hal ini karena, qalb tidak ikut mati, malah kenikmatannya bertambah, karena dapat keluar dari kegelapan menuju cahaya yang terang.[10]
 
C.    Pembagian Tasawuf Akhlaki
1.      Takhalli
Langkah pertama yang harus ditempuh adalah usaha mengosongkan diri dari sikap ketergantungan terhadap kelezatan hidup duniawi. Hal ini akan dapat dicapai dengan jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dalam segala bentuknya dan berusaha melenyapkan dorongan hawa nafsu, karena hawa nafsu itulah yang menjadi penyebab utama dari segala sifat yang tidak baik.[11] Sebagaimana firman Allah: “ sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”.(QS. Asy-syams: 9-10)
Diantara sifat-sifat yang tidak baik yang mesti dibersihkan adalah: hasad (dengki), su’u al-dhan (buruk sangka), kibr (sombong), ‘ujub (merasa besar diri), riya (pamer), dan sebagainya.[12]

1 komentar: