Rabu, 22 Februari 2012

HUKUM PIDANA

BAB I
PENDAHULUAN

            Hukum pidana merupakan sistem aturan yang mengatur semua perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh setiap warga Negara Indonesia disertai sanksi yang tegas bagi setiap pelanggar aturan pidana tersebut serta tata cara yang harus dilalui bagi para pihak yang berkompeten dalam penegakannya. Dalam kehidupan manusia, ada perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh manusia karena bertentangan dengan:
1.    Hak asasi manusia (HAM), yaitu seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
2.    Kepentingan masyarakat umum atau kepentingan sosial, yaitu kepentingan yang lazim terjadi dalam perspektif pergaulan hidup antarmanusia sebagai insan yang merdeka dan dilindungi oleh norma-norma moral, agama, sosial (norma etika) serta hukum.
3.    Kepentingan pemerintah dan Negara, yaitu kepentingan yang muncul dan berkembang dalam rangka penyelenggaraan kehidupan pemerin tahan serta kehidupan bernegara demi tegak dan berwibawanya Negara Indonesia, baik bagi rakyat Indonesia maupun dalam pergaulan dunia.[1]

BAB II
PEMBAHASAN
A.   Pengertian Hukum Pidana

Hukum Pidana adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk kedalam tindak pidana, serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya.[2]

Menurut Prof. Moeljatno, S.H. Hukum Pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :
  1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dan yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
  2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
  3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.[3]
Sedangkan menurut Sudarsono, pada prinsipnya Hukum Pidana adalah yang mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum dan perbuatan tersebut diancam dengan pidana yang merupakan suatu penderitaan. Dengan demikian hukum pidana bukanlah mengadakan norma hukum sendiri, melaikan sudah terletak pada norma lain dan sanksi pidana. Diadakan untuk menguatkan ditaatinya norma-norma lain tersebut, misalnya norma agama dan kesusilaan.[4]

B.   Sumber Hukum Pidana
Pada umumnya para pakar membedakan sumber hukum ke dalam kriteria Sumber hukum materil dan Sumber hukum formal. Menurut Sudikno Mertokusumo, Sumber Hukum Materil adalah tempat dari mana materil itu diambil. Sumber hukum materil ini merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum, misalnya hubungan sosial, hubungan kekuatan politik, situasi sosial ekonomis, tradisi (pandangan keagamaan, kesusilaan), hasil penelitian ilmiah (kriminologi, lalu lintas), perkembangan internasional dan keadaan geografis.
Sedangkan Sumber Hukum Formal, merupakan tempat atau sumber dari mana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Hal ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum itu formal berlaku. Yang diakui umum sebagai sumber hukum formal ialah UU, perjanjian antar Negara, yurisprudensi dan kebiasaan.
Perspektif hukum pidana, khususnya di Indonesia menyebutkan Pancasila sebagai sumber hukum materiilnya. Pancasila merupakan faktor/landasan utama pembentukan hukum di Indonesia. Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa Indonesia, dimana setiap peraturan perundang-undangan yang dibuat berlandaskan Pancasila. Dengan demikian, Pancasila merupakan factor utama yang melandasi setiap peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sumber hukum formil dalam hukum pidana di Indonesia ada dua, yaitu sumber hukum tertulis dan terkodifikasi serta sumber hukum tertulis tidak terkodifikasi.[5]
1.    Sumber hukum tertulis dan terkodifikasi

a.    Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

KUHP ini mempunyai nama asli Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) yang diberlakukan di Indonesia pertama kali dengan Koninklijk Besluit (Titah Raja) Nomor 3315 Oktober 1915 dan mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1918. WvSNI merupakan turunan dari WvS negeri Belanda yang dibuat pada tahun 1881 dan diberlakukan di negara Belanda pada tahun 1886. Walaupun WvSNI notabene turunan dari WvS Belanda, namun pemerintah kolonial pada saat itu menerapkan asas konkordansi (penyesuaian) bagi pemberlakuan WvS di negara jajahannya. Beberapa pasal dihapuskan dan disesuaikan dengan kondisi dan misi kolonialisme Belanda atas wilayah Indonesia. WvSNI berubah menjadi KUHP dan berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia berdasarkan Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan dipertegas dengan Undang-undang Nomor 73 tahun 1958 (LN nomor 127 tahun 1958) tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia.

b.    Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau biasa disebut dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

2.    Sumber hukum tertulis tidak terkodifikasi
a.    Undang-undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika
b.    Undang-undang Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika
c.    Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
d.    Undang-undang dan Peraturan-peraturan lain yang mengandung ketentuan pidana di dalamnya.[6]
Di Indonesia sendiri, kita belum memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional, sehingga masih diberlakukan Kitab undang-undang Hukum Pidana warisan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda. Adapun sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Pidana antara lain:
  1. Buku I Tentang Ketentuan Umum (Pasal 1-103)
  2. Buku II Tentang Kejahatan (Pasal 104-488)
  3. Buku III Tentang Pelanggaran (Pasal 489-569)
C.   Sistem Peradilan
Upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi (hukum) pidana merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri, bahkan ada yang mengatakan bahwa hukum pidana merupakan the older philosophy of crime control. Sampai saat ini pun, hukum pidana masih digunakan dan “diandalkan” sebagai salah satu sarana politik kriminal. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya ancaman pidana pada hampir setiap produk perundang-undangan yang dikeluarkan oleh badan legislatif negara ini, meskipun produk perundang-undangan tersebut tidak termasuk dalam perundang-undangan yang tidak mengatur secara spesifik tentang suatu tindak pidana, seperti UU Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan sebagainya. Dengan demikian, hukum pidana hampir selalu digunakan untuk “menakut-nakuti” atau mengamankan berbagai kebijakan yang timbul di berbagai bidang terutama dalam menanggulangi kejahatan. Fenomena tersebut memberi kesan seolah-olah suatu peraturan akan kurang sempurna atau “hambar” apabila tidak disertai dengan ketentuan pidana.

Aplikasi atau penegakan hukum pidana yang tersedia tersebut dilaksanakan oleh instrumen-instrumen yang diberi wewenang oleh Undang Undang untuk melaksanakan kewenangan dan kekuasaannya masing-masing dan harus dilakukan dalam suatu upaya yang sistematis untuk dapat mencapai tujuannya. Upaya yang sistematis ini dilakukan dengan mempergunakan segenap unsur yang terlibat di dalamnya sebagai suatu kesatuan dan saling berhubungan (interelasi), serta saling mempengaruhi satu sama lain. Upaya yang demikian harus diwujudkan dalam sebuah sistem yang bertugas menjalankan penegakan hukum pidana tersebut, yaitu Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice Sytem) yang pada hakikatnya merupakan “sistem kekuasaan menegakkan hukum pidana”.

Oleh karena itu, setiap aparat dari sistem peradilan pidana (criminal justice system) harus selalu mengikuti perkembangan dari setiap perundang-undangan yang terbit karena aparat dalam sistem peradilan pidana tersebut “menyandarkan” profesinya pada hukum pidana dalam upaya mengantisipasi kejahatan yang terjadi.

Sistem Peradilan Pidana ini diwujudkan / diimplementasikan dalam 4 (empat) sub sistem, yaitu : 
1.    Kekuasaan Penyidikan oleh lembaga penyidik;
2.    Kekuasaan Penuntutan oleh lembaga penuntut umum;
3.    Kekuasaan mengadili dan menjatuhkan putusan oleh badan pengadilan;
4.    kekuasaan pelaksanaan putusan/pidana oleh badan/aparat pelaksana.[7]

Masing-masing kekuasaan yang merupakan sub sistem dalam Sistem Peradilan Pidana tersebut merupakan kekuasaan yang merdeka/independent dalam arti bebas dari pengaruh penguasa atau dari tekanan dari pihak luar. Akan tetapi kemandirian tersebut tidak bersifat parsial (fragmenter), tetapi kemandirian dalam satu sistem, yaitu Sistem Peradilan Pidana yang integral (Integrated Criminal Justice System).[8] Adapun implementasi dari masing-masing sub sistem dalam Sistem Peradilan Pidana tersebut adalah sebagai berikut :

1.    Kekuasaan Penyidikan oleh lembaga penyidik

            Berdasarkan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang dimaksud dengan Penyidik adalah Pejabat Polisi Negera Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Dengan demikian, secara umum yang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan suatu tindak pidana adalah Kepolisian Republik Indonesia (POLRI), namun untuk tindak pidana tertentu ada juga lembaga lain yang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, seperti :
-           Kejaksaan untuk Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana HAM
-          Aparat Dirjen Pajak untuk Tindak Pidana Perpajakan
-          Aparat Bea Cukai untuk Tindak Pidana Kepabeanan
-           Aparat Kehutanan untuk Tindak Pidana Kehutanan.

2.    Kekuasaan Penuntutan oleh lembaga penuntut umum

            Apabila dalam Kekuasaan Penyidikan, terdapat beberapa lembaga yang dapat melakukan penyidikan, maka dalam menjalankan kekuasaan penuntutan hanya satu lembaga yang berwenang melaksanakan yaitu lembaga Kejaksaan Republik Indonesia. Hal tersebut tertuang dalam Ketentuan Umum KUHAP angka 6 dan angka 7 serta tecantum pula dalam Undang Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia pada  Pasal 2 ayat (1) yang menyebutkan bahwa “Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang Undang ini disebut Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.”

3.    Kekuasaan mengadili dan menjatuhkan putusan oleh badan pengadilan

            Yang dimaksud dengan Kekuasaan mengadili sebagaimana diatur dlam Pasal 1 angka 9 KUHAP adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang undang ini. Selanjutnya berdasarkan Pasal 1 angka 8 KUHAP, yang diberi wewenang ini adalah Hakim sebagai Pejabat Peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.

4.    Kekuasaan pelaksanaan putusan/pidana oleh badan/aparat pelaksana/eksekusi

            Kekuasaan ini dimiliki oleh Jaksa Penuntut Umum karena di samping berwenang melaksanakan penuntutan, Jaksa Penuntut Umum juga berwenang melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Hal tersebut diatur dalam Ketentuan Umum KUHAP Pasal 1angka 6 dan angka 7 serta juga diatur dalam Pasal 30 Undang Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

            Dengan demikian dalam proses penegakan hukum pidana, unsur-unsur sistem peradilan pidana meliputi : Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Keempat unsur inilah yang merupakan sub-sistem dari sistem peradilan pidana, sehingga keberhasilan upaya penegakan hukum sangat dipengaruhi oleh keterkaitan dan ketergantungan keempat unsur tersebut. Oleh karena itu, Yang dimaksud dengan sistem peradilan pidana dapat juga dikatakan sebagai sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Pemasyarakatan terpidana.[9]

D.   Produk Perundang-undangan
           
            Berdasarkan isinya, hukum dapat dibagi menjadi 2, yaitu hukum privat dan hukum publik. Hukum privat adalah hukum yg mengatur hubungan orang perorangan, sedangkan hukum publik adalah hukum yg mengatur hubungan antara negara dengan warga negaranya. Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Hukum pidana terbagi menjadi dua bagian, yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil mengatur tentang penentuan tindak pidana, pelaku tindak pidana, dan pidana (sanksi).
            Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP). Hukum pidana formil mengatur tentang pelaksanaan hukum pidana materiil. Di Indonesia, pengaturan hukum pidana formil telah disahkan dengan UU nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana (KUHAP).
            Dalam hukum pidana pelaku pelanggaran berupa kejahatan mendapatkan sanksi berupa pemidanaan, contohnya mencuri (pasal 362 KUHP), membunuh (pasal 338 KUHP) , berzina (pasal 284 KUHP) memperkosa dan sebagainya. sedangkan pelanggaran ialah perbuatan yang hanya dilarang oleh peraturan perundangan namun tidak memberikan efek yang tidak berpengaruh secara langsung kepada orang lain, seperti tidak menggunakan helm, tidak menggunakan sabuk pengaman dalam berkendaraan, dan sebagainya.
            Konsep materi dari contoh produk perundang- undangan hukum pidana termuat di dalam KUHP-pidana, yang membuat KUHP ini adalah Lembaga Legislatif Negeri Belanda yang kemudian di aplikasikan pada setiap negara jajahan nya, dan sekarang di indonesia telah ada RUU KUHP tahun 2004 dimana dalam RUU KUHP ini tidak terlepas dari usaha pembaharuan KUHP yang dahulu secara total.[10] Usaha ini baru dimulai dengan adanya rekomendasi hasil Seminar Hukum Nasional I, pada tanggal 11-16Maret 1963 di Jakarta yang menyerukan agar rancangan kodifikasi hukum pidana nasional secepat mungkin diselesaikan.
BAB III
PENUTUP
Secara garis besar, hukum pidana mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh setiap warga Negara Indonesia, disertai sanksi yang tegas bagi setiap pelanggar aturan pidana tersebut serta tata cara yang harus dilalui bagi para pihak yang berkompeten dalam penegakannya.  Perspektif hukum pidana, khususnya di Indonesia menyebutkan Pancasila sebagai sumber hukum materiilnya. Pancasila merupakan factor utama yang melandasi setiap peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sumber hukum formil dalam hukum pidana di Indonesia ada dua, yaitu sumber hukum tertulis dan terkodifikasi serta sumber hukum tertulis tidak terkodifikasi. Sistem Peradilan Pidana ini diwujudkan / diimplementasikan dalam 4 (empat) sub sistem, yaitu : 
1.    Kekuasaan “Penyidikan” oleh lembaga penyidik;
2.    Kekuasaan Penuntutan oleh lembaga penuntut umum;
3.    Kekuasaan mengadili dan menjatuhkan putusan oleh badan pengadilan;
4.    kekuasaan pelaksanaan putusan/pidana oleh badan/aparat pelaksana.
Masing-masing kekuasaan yang merupakan subsistem dalam Sistem Peradilan Pidana tersebut merupakan kekuasaan yang merdeka/independent dalam arti bebas dari pengaruh penguasa atau dari tekanan dari pihak luar. Akan tetapi kemandirian tersebut tidak bersifat parsial (fragmenter), tetapi kemandirian dalam satu sistem, yaitu Sistem Peradilan Pidana yang integral (Integrated Criminal Justice System).

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi. 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan     Penanggulangan Kejahatan. Bandung: Citra Adtya Bakti.
Bisri, Ilhami. 2010. Sistem Hukum Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Moeljatno. 2008. Asas Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.
Muchsin. 2005. Ikhtisar Ilmu Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Iblam.
Reksodiputro, Mardjono. 1993. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum.
Titik Triwulan Tutik, 2005. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Prestasi Pustaka


[1] Ilhami Bisri, Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), hal. 40
[2]Muchsin, Ikhtisar Ilmu Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Iblam, 2005), hal. 84
[3] Moeljatno, Asas Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hal. 1
[4] Titik Triwulan Tutik , Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2005), hal. 216-217
[5] repository.ui.ac.id/dokumen/lihat/1643.pdf, di akses pada tanggal 30 Oktober 2011
[6] repository.ui.ac.id/dokumen/lihat/1643.pdf, di akses pada tanggal 30 Oktober 2011

[7] Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, (Bandung: Citra Adtya Bakti, 2001), hal. 28
[8] Ibid, hal 30
                [9] Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, (Jakarta: Pusat
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, 1993), hal.1
                [10] http://www.scribd.com/doc/19024789/KUHP-Baru-Indonesia, Diakses pada tanggal 11 November 2011, pukul 09.50

2 komentar:

  1. saya mahasiswa dari Jurusan Hukum
    Artikel yang sangat menarik, bisa buat referensi ni ..
    terimakasih ya infonya :)

    BalasHapus