Jumat, 11 November 2011

Metodologi Studi Fiqh


A.    Pengertian dan Karakteristik Fiqih (Hukum Islam)
Pengertian Fiqih (Hukum Islam) hingga saat ini masih rancu dengan pengertian Syariah. Untuk itu dalam pengertian fiqih disini dimaksudkan di dalamnya pengertian syariat. Dalam kaitan ini kita jumpai pendapat yang mengatakan bahwa fiqih atau hukum islam adalah sekelompok dengan syariat-yaitu ilmu yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia yang dimabil dari nash Al-Quran dan Al-Sunnah. Bila ada nash dari Al-Quran dan Al-Sunnah yang berhubungan dengan amal perbuatan tersebut, atau yang diambil dari sumber-sumber lain, bila tidak ada nash dari Al-Quran atau Al-Sunnah, dibentuklah suatu ilmu yang disebut dengan ilmu fiqih. Dengan demikian yang disebut ilmu fiqih ialah sekelompok hukum tentang amal perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.
Yang dimaksud dengan amal perbuatan manusia ialah segala amal perbuatan orang mukallaf yang berhubungan dengan bidang ibadat, muamalat, kepidanaan dan sebagainya; bukan yang berhubungan dengan akidah (kepercayaan). Sebab yang terakhir ini termasuk dalam pembahasan ilmu kalam. Adapun yang dimaksud dengan dalil-dalil yang terperinci ialah stuan-satuan dalil yang masing-masing menunjuk kepada suatu hukum tertentu.
Berdasarkan batasan tersebut diatas sebenarnya dapat dibedakan antara syariah dan fiqih atau hukum islam. Perbedaannya tersebut terlihat pada dasar atau dalil yang digunakannya. Jika syariat didasarkan pada nash Al-Quran dan Al-Sunnah secara langsung, tanpa memerlukan penalaran; sedangkan hukum islam didasarkan pada dalil-dalil yang dibangun oleh para ulama melalui penalaran atau ijtihad dengan tetap berpegang pada semangat yang terdapat dalam syariat. Dengan demikian, jika syariat bersifat permanen, kekal dan abadi, fiqih atau hukum islam bersifat temporer, dan dapat berubah. Namun, dalam praktiknya antara syariat dan fiqih sulit dibedakan.[1]
B.     Metodologi Studi Fiqih
1.      Penalaran Bayani
Dalam perspektif penemuan hukum Islam dikenal juga dengan istilah metode penemuan hukum al-bayan mencakup pengertian al-tabayun dan al-tabyin : yakni proses mencari kejelasan (azh-zhuhr) dan pemberian penjelasan (al-izhar) ; upaya memahami (alfahm) dan komunikasi pemahaman (al-ifham); perolehan makna (al-talaqqi  dan penyampaian makna (al-tablig).[2] Dalam perkembangan hukum bayani atau setidak-tidaknya mendekati sebuah metode yang dikenal juga dengan istilah hermaneutika yang bermakna mengartikan, menafsirkan atau menerjemah dan juga bertindak sebagai penafsir.[3] Dalam pengertian ini dapat dipahami sebagai proses mengubah suatu dari situasi ketidaktahuan menjadi mengerti, atau usaha mengalihkan diri dari bahasa asing yang maknanya masih gelap ke dalam bahasa kita sendiri yang maknanya lebih jelas, atau suatu proses transformasi pemikiran dari yang kurang jelas atau ambigu menuju ke yang lebih jelas / konkret; bentuk transformasi makna semacam ini merupakan hal yang esensial dari pekerjaan seorang penafsir / muffasir. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penalaran bayani adalah pemahaman atau penafsiran terhadap al-qur’an dan al-hadits, untuk menemukan hukum syar’i dengan menggunakan kaidah-kaidah kebahasaan (al-qawa’id al-lughawiyah).
Pendekatan bayani menjadi asas utama pada pemikiran fiqh Islam. Pola ini lebih menumpukan perhatian kepada teks al qur'an dan sunnah sebagai sumber kebenaran mutlak. Akal dianggap lebih bersifat sekunder di dalam menjelaskan teks. Kekuatan pendekatan ini lebih memberikan perhatian kepada aspek gramatikal dan sastra Arab. Al qur'an dan al sunnah adalah rujukan ilmu-ilmu Islam. Kebenaran wahyu adalah absolut.
Untuk menghasilkan pengetahuan, penalaran bayani ini akan mengutamakan tiga hal, yaitu:
a.       Redaksi lafaz teks dengan menggunakan kaidah bahasa Arab yang baku.
b.      Menitikberatkan otoritas transmisi suatu teks nash agar tidak keliru ataupun salah. Hal ini telah menyebabkan timbulnya ilmu Hadis riwayah.
c.       Menitikberatkan penggunaan metode Qiyas.
Secara umum metode interprestasi (al bayan) ini dapat dikelompokkan ke dalam sebelas macam, yaitu :
1)      Interprestasi Gramatikal (menurut bahasa).
Yaitu Penafsiran kata-kata dalam teks hukum sesuai kaidah bahasa dan kaidah hukum tata bahasa.
2)      Interprestasi historis.
Yaitu penafsiran sebuah aturan hukum berdasarkan sejarah.
3)      Interprestasi sistematis.                
Yaitu Penafsiran sebuah aturan hukum atau ayat sebagai bagian dari keseluruhan sistem, artinya aturan itu tidak berdiri sendiri, tetapi selalu difahami dalam kaitannya dengan jenis peraturan yang lainnya.
4)      Interprestasi sosiologis atau teologis.
Yaitu peraturan / ayat ditetapkan berdasarkan tujuan kemaslahatan.
5)      Interprestasi komparatif.
Yaitu metode penafsiran dengan jalan membandingkan (muqarina) berbagai sistem hukum baik dalam suatu negara Islam ataupun membandingkan pendapat-pendapat imam mazhab.
6)      Interperstasi futuristik.
Yaitu metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi yakni penjelasan ketentuan hukum dengan berpedoman pada aturan yang belum mempunyai kekuatan hukum, karena peraturannya masih dalam rancangan.
7)      Interperstasi restriktif.
Yaitu Metode interprestasi yang sifatnya membatasi, seperti gramatika kata “tetangga” dalam fiqh mu‟amalah, dapat diartikan setiap tetangga itu termasuk penyewa dari perkarangan di sebelahnya, tetapi kalau dibatasi menjadi tidak termasuk tetangga penyewa, ini berarti seorang qadhi telah melakukan interprestasi restriktif.
8)      Interprestasi ekstensif.
Yaitu Metode penafsiran yang membuat interprestasi melebihi batas-batas hasil interprestasi gramatikal.
9)      Interprestasi otentik atau secara resmi.
Yaitu metode penafsiran dimana qadhi tidak diperkenankan melakukan penafsiran dengan cara lain selain dari apa yang telah ditentukan pengertiannya di dalam undang-undang itu sendiri.
10)  Interperstasi interdisipliner.
Yaitu metode yang dilakukan dalam suatu analisis masalah yang menyangkut berbagai disipilin ilmu hukum, di sini dipergunakan logika penafsiran lebih dari satu cabang ilmu hukum.
11)  Interprestasi multidisipliner.
Yaitu metode dimana hakim harus mempelajari suatu atau beberapa disiplin ilmu lain di luarilmu hukum. Dengan kata lain, di sini hakim membutuhkan verifikasi dan bantuan dari lain-lain disiplin ilmu.[4]
2.      Penalaran Ta’lili
Penalaran ta’lili adalah penalaran yang didasarkan kepada anggapan bahwa ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Tuhan untuk mengatur prilaku manusia ada alasan logis atau nilai hukum yang akan dicapainya, maka pada dasarnya penalaran ta’lili merupakan metode istimbat hukum yang berupaya menggunakan illat tersebut sebagai alat utamanya.
Dari beberapa rumusan yang dikemukakan ulama’ ushul fiqh dapat disimpulkan bahwa illat adalah suatu keadaan atau sifat yang jelas (dhahir) yang dapat diukur dan mengandung relevansi (munasabah) sehingga kuat dugaan dialah yang menjadi alasan penetapan suatu ketentuan Allah dan Rasul-Nya.
Disini dapat dipahami bahwa ada tiga persyaratan yang harus terdapat didalam illat, yaitu:
a.       Sifat yang jelas (dhahir)
b.      Relatif dapat diukur (terukur)
c.       Mengandung pengertian yang sesuai dengan hukum dalam arti mempunyai relevansi dengan hukum.(munasabah)
Dilihat dari persyaratan inilah yang membedakan antara illat dan hikmah. Contohnya, mengqasar shalat bagi orang yang sedang bepergian mempunyai hikmah dan illat. Hikmahnya adalah untuk memberikan keringanan dan menghilangkan kesulitan. Sedangkan illatnya adalah mengadakan perjalanan atau musafir itu sendiri kerena musafir (safar) disini adalah suatu hal yang sudah jelas dan pasti. Hanya saja ukuran safar (yang memberi ijin qashar) itu karna “jarak tempuhnya” atau “waktu tempuhnya”.
Disini jelas bahwa suatu keadaan yang abstrak dalam arti tidak dapat diukur tidak dapat digunakan sebagai illat. Contohnya, dalam kasus shalat di atas, karena istilah “kesukaran atau kesulitan” ini sifatnya relatif, tidak dapat diukur dan tidak sama pada setiap orang.
Dari definisi dan persyaratan illat di atas akan membedakan illat dan sebab,  karena illat harus mempunyai relevansi dengan hukum yang ditetapkan, sedangkan sebab tidak selamanya harus mempunyai relevansi dengan hukum. Contohnya adalah tergelincirnya matahari untuk kewajiban shalat dhuhur atau tenggelamnya matahari sebagai tanda datangnya waktu sholat maghrib, dinamakan sebab karena tidak mempunyai atau tidak diketahui relevansinya. Namun sebagian ulama’ ushul tidak membedakan antara illat dengan sebab, karena keduanya mempunyai maksud yang sama.
3.      Penalaran Istislahi
Sebagaimana halnya metode penalaran lainya, al-maslahat al-mursalah juga merupakan metode penemuan hukum yang kasusnya tidak diatur secara eksplisit dalam Al Quran dan Hadis. Hanya saja metode ini lebih menekankan pada aspek maslahat secara langsung. Sehubungan dengan metode ini, dalam ilmu Ushul Fiqh dikenal ada tiga macam maslahat, yakni maslahat mu’tabarat, maslahat mulghat dan maslahat mursalat.
Maslahat yang pertama adalah maslahat yang diungkapkan secara langsung baik dalam Al Quran maupun dalam Hadit. Sedangkan maslahat yang kedua adalah yang bertentangan dengan ketentuan yang termaktub dalam kedua sumber hukum Islam tersebut. Di antara kedua maslahat tersebut, ada yang disebut maslahat mursalat yakni maslahat yang tidak ditetapkan oleh kedua sumber tersebut dan tidak pula bertentangan dengan keduanya.[5] Istilah yang sering digunakan dalam kaitan dengan metode ini adalah istislahi.
Istislahi adalah suatu cara penetapan hukum terhadap masalah-masalah yang tidak dijelaskan hukumnya oleh nash dan ijmak dengan mendasarkan pada pemeliharaan al-mashlahat almursalat. Pada dasarnya mayoritas ahli Ushl Fiqh menerima metode maslahat mursalat. Untuk menggunakan metode tersebut mereka memberikan beberapa syarat.
Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa metode penemuan hukum dengan istislahi itu difokuskan terhadap lapangan yang tidak terdapat dalam nash, baik dalam Al Quran maupun As Sunnah yang menjelaskan hukum-hukum yang ada penguatnya melalui suatu I’tibar. Juga difokuskan pada hal-hal yang tidak didapatkan adanya ijma’ atau qiyas yang berhubungan dengan kejadian tersebut. Hukum yang ditetapkan dengan istislahi seperti pembukuan Al Quran dalam satu mushaf yang dilakukan oleh Usman Ibn Affan, khalifah ketiga. Hal itu tidak dijelaskan oleh nash dan ijmak, melainkan didasarkan atas maslahat yang sejalan dengan kehendak syara’ untuk mencegah kemungkinan timbulnya perselisihan umat tentang Al Quran.[6]


[1] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 298
[2]Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru Dengan Interprestasi Teks, (UII Pres: Yogyakata, 2004), hal. 23
[3] Ibid, hal. 20
[4] Muhammad Abu zahrah, Ushul al-Fiqh,  (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), hal.364
[5] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh,  (Jakarta: Al-Majlis al-A‟la al-Indonesia 1972),  hal. 84
[6] Rachmat Syafe‟i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung, Pustaka Setia, 1999), hal. 117

2 komentar: