Rabu, 11 Januari 2012

Cerpen_PELANGI UNTUK IBU*""*


Hujan mengguyur bumi. Membuat sore ini menjadi gelap sebelum waktunya. Langit yang kelabu seolah menyiratkan sesuatu. Sesuatu yang sulit kujelaskan. Kupandang keadaan luar dari jendela kamar rumah sakit. Langit semakin gelap saja. Bunga-bunga mawar ditaman rumah sakit itu tak lagi merekah. Ia semakin menunduk karena butiran-butiran air hujan yang seolah menyiksanya tanpa ampun. Rumput-rumput yang basah juga tak berdaya. Sepi. Tak terlihat seorang pun di sana.
            Aku tersenyum. Berusaha untuk tersenyum, lebih tepatnya. Ku tatap wajah Ibuku sambil mengamati kondisinya yang masih belum menunjukkan perkembangan yang berarti. Tak lagi kulihat cahaya di matanya.  “Bu...,” tanyaku gelisah. “Ibu memikirkan apa? Coba cerita sama Alis bu..” pintaku. Aku semakin gelisah. “Bagaimana dengan kuliahmu, nak? Ibu tak ingin kamu berhenti kuliah.”ucapnya dengan penuh linangan air mata. Aku terhenyak. Bibirku tak mampu berkata-kata. Disaat kondisi Ibu seperti ini, ia masih memikirkan kuliahku. Penyakit TBC yang sedang di deritanya membuat dirinya kini semakin lemah dan berat badannya semakin hari semakin menurun. Aku sungguh prihatin dengan sakitnya Ibu.
            “Ibu ingin kamu kembali ke kota melanjutkan kuliahmu..” Kali ini Ibu menatapku dengan sungguh-sungguh. Aku mencoba untuk menghibur kerisauannya. “Ibu tak perlu khawatir dengan masalah kuliah, yang penting sekarang Ibu cepat sembuh..” Jawabku sambil tersenyum padanya. Tapi Ibu malah menyuruhku untuk membereskan pakaiannya. “Ibu sudah sembuh nak! Kita sudah bisa pulang. Ibu akan memasakkan rendang kesukaanmu di rumah..”Sembari ia tersenyum kepadaku. Kata-kata Ibu nyaris menggetarkan hatiku. Kali ini sungguh air mataku sudah dipelupuk mata. Hening. Aku tak sanggup menahannya. Aku segera menuju keluar kamar dengan tetesan air mata yang jatuh. Kembali … menangis sendiri … “sembuhkan Ibuku, ya Allah…!!”
***
            Jam menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Tiba-tiba Hp ku berdering dengan adanya pesan yang masuk.  Kata demi kata kuhayati isi pesan itu. Dari pak Didi, panitia lomba deklamasi puisi. Ia menyuruhku untuk segera melengkapi berkas persyaratannya, serta menyiapkan sebuah puisi yang akan di tampilkan nanti. Perasaanku saat ini masih galau, mengingat ibu yang entah berapa lama lagi masih harus dirawat di rumah sakit. Namun, dibalik itu semua, aku sungguh berharap bisa mengikutinya. Lomba itu sangat penting bagiku. Jika aku bisa memenangkannya, biaya kuliah untuk semester ini akan ditanggung oleh mereka. Hal ini tentu saja mampu meringankan sedikit beban hidupku.
            Ditengah kesabaran Ibu menghadapi sakitnya, aku kembali merasakan kepedihan yang mendalam. Aku tak tega membiarkan ibu sendirian menanggung deritanya. Aku merasa tak mampu menolongnya, tak dapat menyembuhkannya. Namun, ibu bersikap sebaliknya. Ia terus-terusan menyuruhku untuk kembali ke kota demi melanjutkan kuliahku yang sempat tertinggal beberapa minggu ini. “Alisa, ibu tak ingin kamu berlama-lama disini mengurusi Ibu. Ibu ingin kamu kembali ke sana, melanjutkan kuliahmu..” Ibu kembali memaksaku.
            Tak ada pilihan lain bagiku selain menuruti keinginan Ibu. Berat langkah kaki ini meninggalkan Ibu yang masih dalam perawatan. Tapi demi kuliah dan masa depanku, mau tidak mau aku harus melakukannya. Toh.. masih ada saudara yang akan menjaga dan merawat Ibu di sini. Sebelum berangkat, Ibu tak pernah lupa memberikan nasihat bijaknya kepadaku. Kata-kata yang ia ucapkan mengalir bak mutiara yang penuh makna. Inilah yang akan memotivasiku ketika aku jauh dari dekapannya.
“Berjalanlah sampai batas, berlayarlah sampai pulau.. Teguhkan hati untuk terus berjuang, selesaikan apa yang sudah dimulai…”
            Nasihat dari Ibu semakin menguatkan tekadku. Aku telah berjanji padanya untuk bisa membahagiakannya. Ibu tidak meminta sesuatu apapun dariku, ia selalu mengingatkanku untuk terus berjuang demi masa depanku. “Tak ada yang dapat membahagiakan Ibu selain bisa melihatmu berhasil meraih impianmu, nak! Disini.. Ibu akan selalu mendoakanmu..”
***
            Pagi-pagi sekali aku sudah bersiap-siap untuk ke kampus. Namun, suasana hatiku masih dirundung duka. Hari ini aku akan mengikuti jadwal kuliah sampai sore, hanya ada waktu break sejenak pada siang harinya. Ketika memasuki ruangan, temanku Sarah, memanggilku dari belakang. “Lis, bagaimana keadaan Ibumu sekarang?” seraya menghampiriku. “Masih dalam perawatan Sar, Mohon doanya ya…” jawabku. Ia merangkul bahuku. “Pasti lis, Insya Allah Ibumu akan sembuh. Oh iya.. Kemarin aku mendapat kabar dari pak Didi, katanya hari ini kamu harus segera menjumpainya.”
            Aku baru teringat dengan pesan yang dikirim kepadaku kemarin ketika di rumah sakit. Tanpa ragu-ragu aku segera berlari keruangan Pak Didi yang tidak jauh dari ruanganku. Aku mengetuk pintunya beberapa kali, dan terdengar ia menyuruhku masuk. “Sudah kamu persiapkan persyaratannya? Tiga hari lagi acaranya akan diadakan.” Aku hanya mengangguk dan menyerahkan berkas yang telah kupersiapkan. Sebelum kakiku melangkah keluar, Ia kembali menegurku. “Jadilah yang terbaik.. Berjuanglah..!!”
            Tak terasa begitu banyak dorongan yang datang dari orang-orang disekitarku. Mereka semua menginginkan agar aku menjadi yang terbaik. Mulai dari Ibu, yang tak pernah lelah menasehatiku. Walaupun aku pernah berpikir untuk berhenti kuliah dan mengurusi Ibu saja dirumah, karena tak ada yang menemani Ibu. Ayah yang sudah lama meninggal, dan aku adalah anak satu-satunya. Namun, Ibu tak ingin anaknya menjadi orang yang ketinggalan pendidikan. Ia terus mendorongku untuk mengejar cita-citaku. Begitupun dengan teman-teman, yang selalu menolongku, meminjamkan catatan-catatan yang belum aku lengkapi. Dan pak Didi, seorang pembimbing yang selalu memotivasiku dalam hal prestasi. Aku sungguh bersyukur bisa mengenal mereka semua.
            Usai shalat isya, aku duduk di sebuah kursi yang berdekatan dengan jendela kamarku. Dengan ditemani kertas putih dan sebuah pena yang mengitari jariku, aku mulai menggoreskan tinta diatas kertas putih itu. Tinggal dua hari lagi, perlombaan deklamasi puisi akan diadakan. Tapi, aku belum menemukan judul yang sesuai dengan keinginanku. Perlombaan deklamasi puisi sangat populer di kampus kami, mengingat kami adalah anak-anak sastra yang harus memiliki jiwa seni yang kuat. Setiap tahun acara seperti ini selalu diadakan.
            Sambil menari-narikan pena ditanganku, tiba-tiba aku terbayang pada sosok yang sangat berarti dalam hidupku. Ya.. Ibuku. Dialah yang akan menjadi inspirasi bagiku. Aku akan menggoreskan sebuah puisi tentangnya, tentang perjuangannya, pengorbanannya dan kebaikannya yang senantiasa mengalir seiring dengan bertambahnya usiaku. Tak terasa air mataku menetes ketika bait demi bait terangkai dengan tulus. Aku sangat mencintainya. Semua yang telah ia berikan kepadaku selama ini, tak sedikitpun tergantikan. Lewat ungkapan puisi ini, aku ingin meluahkan perasaanku dan mengabadikan sosok Ibuku dalam bingkaian cinta dan kasih sayang.
            Tepat pukul sebelas malam, akhirnya selesai juga puisiku. Ada perasaan haru ketika jemariku menggerakkan pena, merangkai kata demi kata. Sungguh, aku semakin merindukan Ibu, aku ingin melihat keadaannya. Malam itu, kuadukan semua kesahku dalam sujud yang panjang. Tak henti-henti aku menangis dan memohon kesembuhan untuk Ibuku.
Ya Rabb.. berikanlah kekuatan pada Ibu dan izinkan aku membanggakannya..”
***

Minggu, 08 Januari 2012

JIWA ITU...

Jiwa itu…
Yang senantiasa menyambut hari dengan kemenangan
Menyusun langkah untuk terus berjuang
Berbuat dan terus berbuat
Hingga  lelah pun enggan menjadi menghalang..

Mata ini menjadi saksi
Ketika raga yang tangguh mulai bereaksi
Membentangkan sayap kebaikan
Menjadi pelopor perubahan

Ditengah gemuruh yang melanda
Tak sedikit pun goyah semangat yang terbina
Terus menggoreskan warna, menghapus gelapnya logika
Menaburkan benih-benih kepercayaan
Agar hidup tak salah dalam menentukan pilihan

Hanya bisa menatap dari kejauhan
Berharap dalam heningnya kesendirian..
Biarlah jiwa itu mengepakkan sayapnya dengan lebar
Merangkul banyak pengalaman yang berkesan
Kelak, tak ada lagi anggapan buruk tentangnya
Yang hanya menjadi penghalang, Tanpa mengerti arti sebuah ketulusan

Teruskan langkahmu..
Tinggalkan lebih banyak jejak kebaikanmu..
Disini,  akan terbesit harapan
Dari hati yang tersimpan..