Minggu, 14 Oktober 2012

Tasyri' pada masa sahabat


PENDAHULUAN
Syari’at Islam selama ini telah berjalan dari masa ke masa. Ia cocok untuk setiap generasi yang ada dan mampu berdialek dengan realitas kehidupan yang kompleks. Prinsip–prinsip hukumnya telah rnempengaruhi hukum dan perundang-undangan yang hidup dan berkembang. Lebih dari itu ia juga berfungsi untuk menjamin keadilan, ketenangan, keharmonisan dan kemaslahalan hidup manusia dalam berbagai sikon, kapan dan dimana saja berada. Pada masa Rasulullah SAW. sumber tasyri’ dipegang oleh beliau sendiri. Jika umat islam menghadapi suatu permasalahan, mereka akan langsung mengembalikan permasalahan itu kepada Rasul. Dengan demikian, selesailah sudah permasalahan yang mereka hadapi. Namun sepeninggal Rasulullah, para sahabat nabilah yang menjadi tumpuan umat islam dalam menghadapi persoalan yang terjadi saat itu.
Sahabat adalah generasi Islam pertama yang meneruskan ajaran dan misi kerasulan, dimana ia dalam menentukan hukum Islam selalu berpegang pada fatwa Rasul yang telah ada. Akan tetapi dari satu sisi itu pula sahabat menemukan yang memang dalam fatwa Rasul tidak ada, mereka berupaya untuk berijtihad tetapi masih dalam takaran syariat keislaman yang di sandarkan pada Al-Quran dan Al-Hadits. Peride sahabat ini dimulai pada masa Abu Bakar Siddiq, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Tasyri’ pada masa sahabat juga sudah dimulai oleh nuansa politik, dimana suatu penetapan hukum juga sudah berbau politik. Dan mungkin pula ada banyak perbedaan penentuan hukum melihat pada tatanan sosial politik kala itu. Mereka sudah mulai berinterpretasi tentang Al-Quran dan al-Hadits demi maslahatul umat yang di lihat pada tatanan sosialnya.[1]


PEMBAHASAN
A.    Kondisi Tasyri’ Pada Masa Sahabat
Dengan wafatnya Nabi Muhammad, berhentilah wahyu yang turun selama 22 tahun 2 bulan 22 hari yang beliau terima melalui malaikat jibril baik waktu beliau masih berada di Makkah maupun setelah hijrah ke Madinah. Demikian juga halnya dengan sunnah, berakhir pula dengan meninggalnya Rasulullah itu.
Kedudukan nabi Muhammad sebagai utusan Tuhan tidak mungkin diganti, tetapi tugas beliau sebagai pemimpin masyarakat islam dan kepala Negara harus dilanjutkan oleh orang lain. Pengganti nabi Muhammad sebagai kepala Negara dan pemimpin umat islam ini disebut Khalifah, suatu kata yang dipinjam dari Al-Qur’an (Surat 2:30). Di dalam Al-Qur’an selain surat Al-baqarah ayat 30 itu terdapat perkataan khalifah yang tersebar dalam sebelas ayat. Ide yang dapat disimpulkan dari ayat-ayat tersebut adalah bahwa manusia harus mempunyai tujuan hidup menata dunia ini. dan sebagai khalifah (wakil) Tuhan dibumi ini, manusia harus menerjemahkan segala sifat-sifat Tuhan kedalam kenyataan hidup  dan kwhidupan dan wajib mengatur bumi ini sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan-Nya. Manusia wajib melakukan tugas unutk mencapai tujuan hidupnya menurut pola yang telah ditentukan oleh Tuhan dalam ajaran-ajaran-Nya.[2]
Pengangkatan seorang khalifah dapat terjadi dengan persetujuan masyarakat sebagaimana yang terjadi dalam kasus Abu Bakar, atau dengan penunjukan khalifah sebelumnya seperti kasus Umar. Jika diperlukan pemilihan, dapat dibentuk suatu badan khusus menyelenggarakan pemilihan itu. Sesudah dipilih, khalifah harus berjanji bahwa ia akan memenuhi kewajiban yang dipercayakan kepadanya. Ia harus melaksanakan janjinya dengan setia, sebab tanggung jawab dan kewajibannya sebagai kepala Negara, jauh lebih berat  dari hak-hak istimewa yang ada padanya. Ia mendapat janji setia (bai’at) dari rakyat atau wakil-wakilnya yang memenuhi syarat.
Demikianlah untuk menggantikan kedudukan Nabi Muhammad sebagai pemimpin umat dan kepala Negara, dipilihlah seorang pengganti yang disebut khalifah dari kalangan sahabat Nabi sendiri. Sahabat nabi adalah orang hidup semasa dengan nabi, menjadi teman atau kawan nabi Muhammad dalam menyebarkanluaskan ajaran islam. Para sahabat Nabi ini silih berganti selama empat periode, yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.[3]
Periode kekuasaan pemerintahan Nabi Muhammad saw hanya meliputi semenanjung Arabia, tetapi periode Sahabat meliputi wilayah arab dan non-Arab, sehingga masalah yang muncul semakin kompleks sementara ketetapan hukum yang rinci di dalam Al-Quran dan al-Hadits terbatas jumlahnya. Oleh karena itu, Para sahabat menghadapi banyak masalah yang tadinya tidak terdapat di masyarakat Arab. Misalnya masalah pengairan, keuangan, kemiliteran, pajak, cara penetapan hukum di pengadilan, dan lain-lain. Pada masa inilah mulai muncul interpretasi terhadap nash-nash Al-Quran yang diterima oleh Rasulullah saw, dan terbukalah pintu istinbat terhadap masalah-masalah yang tidak ada didalam nash secara jelas. Dalam masa ini pula Islam mulai berkembang pesat meluas sampai ke-Timur dan ke-Barat, sahabat-sahabat besar dalam masa ini mencoba untuk menginterpretasikan nash-nash hukum baik dalam Al-Quran maupun Al-hadits, yang kemudian menjadi pegangan untuk menta’wil nash-nash yang belum jelas itu. Selain dari pada itu para sahabat besar memberikan fatwa-fatwa dalam berbagai masalah dalam kejadian-kejadian sosial maupun politik yang tidak ada kejelasan dalam nash mengenai hal itu, yang kemudian itu menjadi dasar sebagai bahan untuk berijtihad. Para sahabat juga dapat dikatakan sebagai musyari’ yaitu menerangkan hal dan tidak ketinggalan memberikan fatwa dalam urusan-urusan yang tercantum secara tersurat dalam nash. Jika ini semua di hadapkan pada kita, maka tidak sepatutnya kita merasakan keheranan, sebab mereka dalam kesehariannya selalu bergaul dengan Nabi, sehingga mereka menyaksikan dan mengetahui asbabun-nuzul serta asbabul-wurud suatu hadits melebihi pengetahuan ulama-ulama’ sesudahnya. Bahkan Para sahabat bergabung dalam kelompok yang biasa diajak bermusyawarah oleh Rasululloh saw. Karena itulah maka munculah kepercayaan umat yang perlu di simak, pada periode ini fatwa-fatwa dan masail fiqhiyah masih dicampur dengan dalil-dalil dan kaidah-kaidah istidlal. Penetapan-penetapan pada waktu itu sebagian besar hanya bersifat melanjutkan apa yang pernah diperbuat oleh Nabi, kecuali mengenai beberapa peristiwa yang pada zaman Nabi belum ada.[4]
B.     Faktor-faktor Penyebab Perkembangannya
Para sahabat  memainkan pesan yang sangat penting dalam membela dan mempertahankan agama. Mereka tidak cukup melaksanakan dan melestarikan syari’at yang dibawa Nabi Saw, tetapi juga membentangkan sayap dakwah Islam hingga kemancanegara. Ini untuk kali pertama syari’at Islam khususnya fiqih berhadapan dengan berbagai persoalan baru. Misalnya masalah seputar moral, etika, kultur, dan kemanusiaan dalam suatu masyarakat yang sangat majemuk.
Fase ini adalah adalah fase yang paling dominan, dalam mempengaruhi perkembangan syari’at. Wilayah-wilayah yang dibuka dan dibebaskan saat itu memiliki perbedaan masalah kultural, tradisi situasi dan kondisi yang menghadang para fuqaha’ dari kalangan sahabat, khususnya Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali untuk memberikan suatu fatwa.
Para Sahabat dengan tingkat pemahaman yang tinggi terhadap Al Qur’an dan Sunnah, menyikapi terhadap persoalan-persoalan yang datang dengan langsung merujuk kepada al-qur’an dan As-Sunnah. Adakalanya mereka menemukan nash dalam al-Qur’an dan hadits secara tersurat, tetapi juga tidak jarang mereka tidak menemukan dalam dua sumber pokok syari’at Islam tersebut. Kondisi yang demikian ini mendorong mereka secara paksa untuk berjuang menggali kaidah-kaidah dasar dan tujuan moral dari berbagai tema-tema dalam Al Qur’an untuk diaplikasikan terhadap persoalan-persoalan baru.
Konsekuensi lain dari perluasan wilayah Islam adalah bercampurnya orang-orang Arab dengan yang lainnya. Sebagian dari mereka banyak yang memeluk Islam, tetapi sebagian tetap pada agama dan kepercayaan masing¬-masing. Dari sini muncul suatu tuntutan untuk menetapkan hukum baru yang mengatur hubungan orang-orang Islam dengan orang-orang non Muslim. Para fuqaha’ untuk yang kesekian kalinnya berusaha merumuskan bagaimana Islam mengatur pluralitas hidup seperti ini. Termasuk disini adalah persoalan baru yang belum pernah terjadi pada era kenabian disamping belum ada sumber hukum yang secara jelas-jelas merinci hukum masalah ini.
Ada tiga hal pokok yang berkembang waktu itu sehubungan dengan hukum:
1.      Begitu banyaknya muncul kejadian baru yang membutuhkan jawaban hukum yang secara lahiriyah tidak dapat ditemukan jawabannya dalam Al-Qur’an maupun penjelasan dari sunah Nabi.
2.      Timbulnya masalah-masalah yang secara lahir telah di atur ketentuan hukumnya dalam Al-Qur’an maupun Sunah Nabi, namun ketentuan itu dalam keadaan tertentu sulit untuk diterapkan dan menghendaki pemahaman baru agar relevan dengan perkembangan dan persoalan yang dihadapi.
3.      Dalam Al-Qur’an ditemukan penjelasan terhadap suatu kejadian secara jelas dan terpisah. Bila hal tersebut berlaku dalam kejadian tertentu, para sahabat menemukan kesulitan dalam menerapkan dalil-dalil yang ada.[5]

C.    Sumber-sumber Tasyri’ Pada Masa Sahabat
Sumber Tasyri’ pada masa ini adalah Al Qur’an, As-sunnah dan ljtihad (termasuk didalamnya ijma’ dan qiyas). Sebab pada hakekatnya keduanya dihasilkan dari jerih payah mujtahiddin. Al qur’an pada masa ini sudah dibukukan, yaitu pada Utsman bin Afan, setelah dipertimbangkan akan kemaslahatannya yang lebih besar. Adapun sumber hukum Islam yang kedua adalah Hadits, yang ketika itu belum dibukukan, sebab dikhawatirkan akan bercampur dengan al-Qur’ an.  Meski demikian upaya untuk pemeliharaan tetap dilakukan. Sehingga kebenaran riwayatnya dapat dijamin. Abu Bakar Misalnya, beliau tidak mau menerima hadits dari seseorang kecuali mendapat pengakuan dan pengetahuan dari orang lain yang terpercaya. Umar bin Khattab menuntut adanya bukti-bukti bahwa hadits tersebut datang dari Rasulullah. Demikian juga Ali bin Abi Thalib, beliau senantiasa menyumpah perawinya.
Kemudian sumber hukum yang ketiga, adalah ijtihad. Para shahabat dalam berijtihad tidak selalu sama, artinya pendapat mereka kadang-kadang berbeda. Berkenaan dengan ini Ibnu Qoyyim pernah berkata bila seseorang sahabat mengemukakan pendapat atau mengemukakan suatu hukum atau memberikan fatwa, tentu ia telah mempunyai pengetahuan, baik yang dimiliki oleh para sahabat maupun pengetahuan yang kita miliki. Adapun pengetahuan yang hanya dimiliki oleh sahabat, mungkin didengar langsung dari Nabi melalui sahabat yang lain. Pengetahuan yang hanya diketahui oleh masing-masing sahabat banyak sekali, sehingga para sahabat tidak semua dapat meriwayatkan semua hadits¬hadits yang didergar dari Khulafa’ ar Rasyidin dan sahabat-sahabat lainnya.[6]
Walaupun Abu bakar Assiddiq selalu mendampingi Nabi, hingga nabi tidak pernah lepas dari pantauan Abu Bakar dan ia digolongkan sebagai orang yang mengetahui tentang Rasulullah SAW, tetapi hadits-hadits yang ia riwayatkan tidak lebih dari seratus hadits. Anggapan orang bahwa seorang sahabat selalu meriwayatkan suatu Hadits atau menyatakan suatu kejadian yang ia ketahui, adalah anggapan yang keliru, bahwa orang tersebut tidak mengetahui sikap dan tingkah laku para sahabat. Sebab mereka sangat takut untuk meriwayatkan suatu hadits, lantaran khawatir akan menambah atau mengurangi hadits tersebut. Karena itu mereka sedikit sekali meriwayatkan dan hanya menceritakan apa yang mereka dengar dari Rasulullah, atau sabda beliau.
D.    Metode dalam Mengenal Hukum
Para Sahabat dalam menghadap suatu masalah atau berbagai masalah mereka lebih dahulu mencari nashnya dari Al Quran atau Sunnah, kalau mereka tidak menemukan dalam Al Quran dan Sunnah mereka mengadakan pertemuan dengan fuqoha sahabat untuk meminta pendapat mereka. Apabila mereka telah sepakati suatu pendapat, maka mereka menetapkan pendapat itu sebagai suatu keputusan. Inilah yang disebut ijma’.
Untuk menyelesaikan persoalan-persoalan baru para sahabat kembali kepada Alqur’an dan Sunnah Nabi. Para sahabat banyak yang hafal al-Qur’an, kendati pernah timbul keresahan ketika banyak yang gugur ketika menghadapi peperangan. Karenanya kembali kepada al-Qur’an itu mudah. Hadits memang diriwayatkan dan dihafal. Tetapi nasib hadits tidak sebagus al-Qur’an karena perhatian mereka lebih terpusat kepada al-Qur’an. Disamping dihafal, al-Qur’an juga ditulis. Namun demikian, sumber hukum Islam dimasa ini adalah al-Qur’an dan hadits. Berdasar kedua sumber hukum itulah para kahlifah dan sahabat berijtihad dengan menggunakan akal pikiran.
Pada umumnya dalam memutuskan hukum, sahabat tidak sendirian, tetapi bertanya terlebih dahulu kepada sahabat lain, takut kalau salah. Sikap ini menunjukkan bahwa penafsiran terhadap al-Qur’an bukan hak perogratif sahabat. Selanjutanya keputusan diambil dari hasil consensus, yang lazim disebut ijma’. Melihat luasnya kekuasaan Islam, tetapi kesepakatan beberapa pemuka Islam yang dipandang mewakili keseluruhan.
Pada awal masa sahabat ini , yaitu pada masa khalifah Abu Bakar dan masa khalifah Umar, para sahabat dengan cara bersama-bersama menetapkan hukum terhadap sesuatu yang tidak ada nashnya. Hukum yang di keluarkan oleh para sahabat dengan cara bersama-sama ini di sebut sebagai ijma’ sahabat.
Khalifah Umar pun berbuat demikian, yaitu apabila sulit baginya mendapatkan hukum dalam al-qur’an dan as-sunnah, maka beliau memperhatikan apakah telah ada keputusan-keputusan terhadap masal itu. Jika Abu Bakar mendapatkan suatu keputusan hukum, maka Umar memutuskan dengan hukum itu, dan kalau tidak maka beliau memanggil pemuka-pemuka kaum muslimin, apabila sepakat tentang hukum tersebut, maka beliau memberikan keputusan dengan hukum yang telah di sepakati tersebut.[7]
Jadi, dalam menghadapi permasalahan yang terjadi, berkembanglah pemikiran para sahabat. Adapun metode yang digunakan pada masa sahabat dapat melalui beberapa cara diantaranya :
a.       Dengan semata pemahaman lafaz yaitu memahami maksud yang terkandung dalam lahir lafaz. Umpamanya bagaimana hukum membakar harta anak yatim. Ketentuan yang jelas dalamm alquran hanya larangan memakan harta anak yatim. Ketentuan jelas dalam alquran hanya larangan memakan harta anak yatim secara aniaya, sedangkan hukum membakarnya tidak ada. Karena semua orang itu tahu bahwa membakar dan memakan harta itu sama dalam hal mengurangi atau menghilangkan harta anak yatim, maka keduanya juga sama hukumnya yaitu haram. Cara ini kemudian disebut penggunaan metode mafhum.
b.      Dengan cara memahami alasan atau illat yang terdapat dalam suatu kasus (kejadian) yang baru, kemudian menghubungkannya kepada dalil nash yang memiliki alasan atau illat yang sama dengan kasus tersebut. Cara ini kemudian disebut metode qiyas.[8]

E.     Sebab-sebab Timbulnya Perbedaan Pendapat Dalam Penetapan Hukum
Menurut Para ahli, timbulnya perbedaan pendapat di kalangan sahabat disebabkan adanya beberapa faktor, setidaknya kita perlu mengatakan lima persoalan mendasar yang menyebabkan beberapa ikhtilaf pada periode ini.

1)      Perbedaan dalam memahami nash al-Qur’an dan Hadits.
Perbedaan seperti ini biasanya disebabkan karena tidak jelasnya batasan pengertian nash dan perbedaan persepsi dikalangan sahabat seperti persoalan quru’, Adanya aya-ayat ahkam yang musytarak, atau belum pasti pengertiannya (dzanni). Dalam Surat Al baqarah : 228 memiliki dua pengertian. Menurut Zaid bin Tsabit, quru’ berarti suci, sementara Umar bin Khattab memahaminya sebagai Haidh.
2)      Munculnya dua persoalan yang merujuk pada dua nash saling berlawanan kesepakatan akhir dari para sahabat bahwa masalah seperti ini harus melewati tiga tahapan, caranya mencari titik temu antara dua nash tersebut, baru kemudian mencari dalil-dalil yang rnenguatkan salah satu dari nash (at-Tarjih), dan jika kedua cara tersebut tidak memungkinkan maka diterapkan teori nash.
3)      Sebagian fuqaha dari kalangan sahabat mengatakan bahwa suatu peristiwa berdasarkan pengetahuan dari sunnah, sementara yang lain belum mendapatkannya atau menganggapnya tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai hadits shahih. Pada masa ini terjadi seleksi yang sangat ketat terhadap periwayatan hadits. Beberapa hadits yang dijadikan sebagai sumber hukum oleh Sebagian fuqaha’ ditolak oleh fuqaha’ lain sebab berbagai alasan. Selektifnya penerimaan periwayatan hadits ini diatur pihak dan kecenderungan untuk mengamalkan hadits dilain pihak, terutama dikalangan ulama’ Madinah .
4)      Perbedaan kaidah dan metode ijtihad dari para sahabat.
Dari perbedaan penggunaan kaidah dan metode ini muncul beberapa perbedaan pendapat dalam suatu persoalan yang sama dan ini sangat memperkaya perbendaharaan fiqh Islam.
5)      Hal ini adalah yang terpenting, kebebasan dan kesungguhan para sahabat periode Sahabat dalam melakukan ijtihad terhadap berbagai masalah yang mereka hadapi. Kebebasan dan kesungguhan inilah yang menjadi sumber konseptualisasi dan redinamisasi syariat periode ini.
6)      Perbedaan mereka dalam menerima hadits dari Rasulullah. Sebagian sahabat ada yang menerima hadits dengan jelas dan cukup banyak, sementara yang lain hanya menerima sebagian saja. Hal ini disebabkan karena kondisi tempat tinggal mereka. Bagi yang dekat dengan Rasulullah, praktis mereka banyak menerima hadits, demikian sebaliknya.[9]
Jadi dengan adanya faktor tersebut, maka munculah beberapa fatwa diantara mereka, yang masing-masing mempunyai dalih dan argumentasi yang berbeda. Akan tetapi, fatwa-fatwa pada waktu itu hanya terbatas pada persoalan-¬persoalan tertentu yang mendesak saja. Perbedaan pendapat belum begitu meluas, sebab problem hukum yang muncul saat itu masih relatif sedikit ketimbang sesudahnya. Disamping konsensus mereka (ijma’) yang masih sangat dimungkinkan. Diantara sahabat besar yang sangat menghindari ijtihad/ra’yu adalah Ibnu Abbas Zubair, dan Abdulah bin Umar, Dan yang terkenal besar Ijtihad adalah Umar Bin Khattab dan Abdullah bin Masud.
Diantara para sahabat yang memegang peran penting dalam hukum pada masa ini adalah: Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Dzaid bin Tsabit, Ubay Bin Ka’ab Abdulah bin Umar, Aisyah, isteri nabi. Mereka semua tinggal di Madinah, termasuk beberapa sahabat yang lain.
F.     Contoh-contoh penerapan hukum (Ijtihad) Para Sahabat
Para sahabat dalam mencari istimbat hukum pasti merujuk pada Al-Qur’an dan Hadits. Akan tetapi permasalahan terjadi ketika dalam dua sumber hukum ,tersebut tidak ada rujukan, sehingga para sahabat harus menggunakan penalarannya, untuk memecahkan masalah yang sedang terjadi. Berikut ini beberapa contoh penerapan hukum pada masa sahabat:
a.       Memerangi orang yang tidak mau membayar zakat
Allah SWT. Dalam Al-Qur’an mewajibkan zakat. Nabi dalam Sunnah-Nya menyebutkan bahwa zakat itu di ambil dari orang kaya dan diberikan kepada orang miskin. Nabi disuruh Allah unutk mengambil harta zakat dari umatnya (At-taubah:103). Cara yang dilakukan Nabi adalah cara yang bijaksana sesuai dengan pesan Allah unutk berdakwah dengan cara bijaksana (An-nahl:125). Atas kesadaran umat waktu itu, kewajiban zakat dapat terlaksana dengan baik.
Pada masa Abu Bakar menjadi khalifah, beliau melihat bahwa pemungutan zakat secara lemah lembut seperti yang dilakukan Nabi tidak efektif lagi karena adanya kecenderungan pembangkangan dari sebagian masyarakat terhadap kewajiban membayar zakat. Karena itu Abu Bakar mengambil sikap yang keras, bahkan menetapkan unutk memerangi orang-orang yang tidak mau membayar kewajiban zakat. Dasar pemikiran Abu Bakar ialah bahwa menempuh sikap lemah lembut sebagaimana dilakukan oleh Nabi, kewajiban membayar zakat tidak dapat ditegakkan.
b.      Larangan meminum khamar
Allah melarang meminum khamar bagi orang islam secara tegas (Al-maidah:90) karena perbuatan tersebut merupakan dosa besar, maka Nabi melalui ijtihadnya menetapkan sanki minum khamar, yaitu dera sebanyak 40 kali. Pelaksanaan sanksi yang ditetpkan Nabi itu dapat menjerakan orang. Dengan demikian tujuan larangan tercapai.
Pada masa Umar bin Khatab menjadi khalifah, kebiasaan minum khamar waktu jahiliyah kmbuh lagi dikalangan orang islam dan sanksi dera 40 kali sudah kurang efektif sebagai alt penjera. Umar memikirkan cara unutk mebuat orang jera minum khamar yang merupakan tujuan dari hukum. Dalam hal ini Umar menetapkan sanksi minum khamar menjadi 80 kali dera, sehingga ornag menjadi bertambah takut meminum khamar. Dengan demikian, sanksi yang ditetapan Umar berbeda dengan yang ditetapkan Nabi sebelumnya, unutk mencapai tujuan larangan, yaitu menjerakan berbuat kejahatan.[10]

c.       Penetapan azan shalat jum’at dua kali
Pada masa Nabi, azan memberi tahu masuk waktu Jum’at dilakukan satu kali, yaitu setelah khatib naik mimbar. Hal ini merupakan pemahaman terhadap ayat 9 surat al-jumu’ah yang berbunyi:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) šÏŠqçR Ío4qn=¢Á=Ï9 `ÏB ÏQöqtƒ ÏpyèßJàfø9$# (#öqyèó$$sù 4n<Î) ̍ø.ÏŒ «!$# (#râsŒur yìøt7ø9$# 4 öNä3Ï9ºsŒ ׎öyz öNä3©9 bÎ) óOçGYä. tbqßJn=÷ès? ÇÒÈ
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui.”
Azan satu kali itu dimasa Nabi telah cukup untuk memberi tahu orang islam untuk menghadiri shalat jum’at. Pada waktu Utsman bin Affan menjadi khalifah, umat islam semakin banyak dan wilayahnya semakin luas. Kalau azan hanya satu kali saja, pemberitahuan belum tentu akanmerata keseluruh umat di sekitar itu. Karena utsman menetapkan azan shalat Jum’at menjadi dua kali. Hal ini dijelaskan dalam sebuah atsar dari Su’eb bin Jazid menurut riwayat Bukahri, Nasa’I, dan Abu Daud:
“Adalah pada mulanya azan Jum’at itu bila khatib telah duduk di atas mimbar pada masa Rasul Allah, Abu Bakar, dan masa Umar. Pada masa Utsman dan telah banyak orang, ditambah azan itu menjadi tiga kali (satu kali terakhir adalah iqamah).”[11]
d.      Pernikahan seorang wanita yang sedang dalam ‘iddah
‘Iddah wanita yang diceraikan suaminya dalam keadaan hamil dijelaskan Allah dalam surat ath-thalaq:4, yaitu sampai melahirkan anak:
àM»s9'ré&ur ÉA$uH÷qF{$# £`ßgè=y_r& br& z`÷èŸÒtƒ £`ßgn=÷Hxq 4
“Perempuan hamil yang bercerai ‘idhnya melahirkan anaknya.” (At-Thalaq:4)
Tentang ‘idah wanita yang kematian suaminya disebutkan Allah dalam surat Al-Baqarah:234, yaitu empat bulan sepuluh hari:
tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFムöNä3ZÏB tbrâxtƒur %[`ºurør& z`óÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/ör& 9åkô­r& #ZŽô³tãur
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.” (Al-Baqarah:234)
Tetapi tidak ada penjelasan yang pasti dari Allah maupun dari Nabi tentang ‘idah wanita yang kematian suami dalam keadaan hamil; apakah menggunakan ayat 4 surat Ath-Thalaq meskipun belum 4 bulan 10 hari sebagaimana yang dikehendaki ayat 234 surat Al-Baqarah. Atau menggunakan ayat 234 surat Al-Baqarah meskipun anaknya belum lahir sebagaimana yang dituntut dalam surat Ath-Thalaq:4.
Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan sahabat. Ali bin Abi Thalib berpendapat dan berfatwa bahwa ‘idah wanita itu adalah masa yang terpanjang diantara dua masa itu. Dasar pertimbangannya adalah kehati-hatian dalam mengamalkan dua ayat tersebut diatas. Ulama lain diantaranya Umar bin Khatab berpendapat bahwa ‘idahnya tetap melahirkan anak, meskipun belum sampai masanya 4 bulan 10 hari.[12]
e.       Unta tersesat
Perbedaan pendapat terjadi tentang masalah unta yang tersesat (berkeliaran) dan tidak diketahui pemiliknya, apakah boleh diamankan seperti barang temuan lainnya, atau tidak. Ikhtilaf itu terjadi karena ada hadits yang menyebutkan bahwa unta-unta itu harus dibiarkan hingga ditemukan sendiri. ketika kondisi pemerintahan mulai goncang dan keamanan mulai tidak terjamin, Utsman berpendapat bahwa unta-unta sebaiknya diamankan, Tetapi Rasulullah melarang untuk mengamankan. Kata Utsman, karena tidak mungkin ada yang mencurinya. Namun sekarang dalam suasana melemahnya gairah keagamaan ini unta-unta harus diamankan untuk kemaslahalan, Kalau tidak ia akan dicuri orang”.[13]
Sikap Utsman ini bertentangan dengan kebijaksanaan Umar yang mengamalkan hadits Nabi tadi, Disini tampaknya Utsman menerapkan ‘Illat Umar melaksanakan nash dari hadits karena adanya illat yaitu” suasana Aman”. Ketika llat itu tidak ada maka nash tidak cukup syaratnya untuk diterapkan. Jika diamalkan maka pengamalan nash itu tidak akan mewujudkan kemaslahalan yang merupakan tujuan utama Nash tadi.
Demikianlah sekedar contoh pemikiran sahabat tentang hukum , baik dalam hal tidak ada dalil tertulis yang menjelaskannya, atau keadaan sudah berubah yang menghendaki perubahan pemikiran; atau dalam bentuk ketiga yaitu penerapan ayat terhadap dua kejadian yang bergabung. Pemikiran ini menghasilkan pendapat berbeda yang pada akhirnya menghasilkan pihak-pihak yang berbeda, masing-masing diikuti para pengikutnya. Perbedaan ini pada umumnya disebabkan oleh karena tidak adanya petunjuk yng pasti dari Al-Qur’an dan tidak ada pula penjelasan dari Nabi.







[1] Zainuddin Ali, Hukum Islam, (Jakarta : Sinar Grafika Ofset, 2006), hal. 68
[2] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006),  Hal.169

[3] Ibid, hal. 170
[4] M. Hasbi Ash Shidiqi, Pengantar Kebudayaan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1967), hal. 56
[5] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, ( Jakarta : Kencana, 2009), hal.24

[6] Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syari’at, (Jakarta: Robbani Press, 2008), hal. 156
[7] Abdul Wahab Khallaf,  Khulasah Tarikh al-Tasyri’ Al-islami, (Jakarta: Grafindo Persada, 2001), hal. 55-56
[8] Amir Syarifuddin, Ushul…., hal.24

[9] Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi…., hal. 166-168
[10]Amir Syarifuddin, Ushul…., hal. 30-31
[11] Ibid, hal. 32
[12] Ibid, hal.33
[13] Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi…., hal.161