Senin, 14 Mei 2012

Mensyari’atkan Demonstrasi Dikalangan Mahasiswa Aceh

Di Alam demokrasi dan keterbukaan saat ini, demonstrasi bukanlah fenomena yang asing lagi terjadi. Demonstrasi menjadi pemandangan mata yang biasa dan berita yang sering didengar telinga. Saat kita mendengar istilah demonstrasi, secara sadar atau tidak, frame negatif sering tergambar dalam benak kita. Hal ini dikarenakan dalam aksi demonstrasi kerap kali terjadi hal-hal anarkis yang pada dasarnya sangat tidak diinginkan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997), demonstrasi adalah pernyataan protes yang dikemukakan secara massal, baik protes itu ditujukan kepada seseorang maupun kelompok atau pemerintahan. Sedangkan kata demonstrasi dalam bahasa Arab diterjemahkan dengan muzhaharat dan masirah. Dua kata tersebut hampir mirip, tetapi dalam pandangan Islam memiliki muatan hukum yang tidak sama. Jika yang pertama sering mendekati pada hukum haram, tetapi yang kedua seakan sangat jelas dibolehkan. Keduanya dibedakan dari tindakan-tindakan para demonstran ketika menyampaikan suara dan juga bentuk tuntutan atau protes itu sendiri.
Demonstrasi banyak dimotori oleh berbagai kalangan, tak terkecuali mahasiswa. Aktivitas yang cukup populer dikalangan mahasiswa dalam merespon beberapa permasalahan yang terjadi, salah satunya dengan aksi demonstrasi. Mahasiswa mempunyai tanggung jawab yang tinggi terkait dengan statusnya. Mahasiswa harus bisa berkontribusi dalam masyarakat dan senantiasa bersikap tegas dan strategis dalam setiap langkahnya. Sebagai mahasiswa harus menyadari bahwa ada banyak hal di negara ini yang perlu diluruskan dan diperbaiki. Kepedulian terhadap negara dan komitmen terhadap nasib bangsa di masa depan harus diinterpretasikan oleh mahasiswa ke dalam hal-hal yang positif. Tidak bisa dipungkiri, mahasiswa dianggap sebagai social control. Karena itu, kepedulian dan nasionalisme terhadap bangsa tidak hanya ditunjukkan dengan keseriusan menimba ilmu di bangku kuliah, tapi juga partisipasinya dalam meluruskan berbagai ketimpangan sosial yang terjadi dimasyarakat.
Pada umumnya, demonstrasi terjadi karena adanya ketidaksesuaian dalam penetapan kebijakan antara pemerintah dengan masyarakat. Demonstrasi sering terjadi diberbagai daerah, begitu juga di Aceh. Seperti yang kita lihat pada pekan lalu, kasus penolakan terhadap kenaikan harga BBM yang merebak di berbagai daerah di tanah air. Sebagian besar aksi itu dipelopori oleh mahasiswa. Banyak mahasiswa Aceh yang juga ikut terlibat didalamnya. Hanya saja sangat disayangkan aksi demonstrasi tersebut kerap kali diiringi dengan luapan emosi dan kemarahan yang tak terkontrol, mengganggu aktivitas lalu lintas, membakar ban bekas dan aksi-aksi lain yang cenderung anarkis. Aksi anarkisme itu bukan hanya milik ormas seperti yang sering dikesankan kepada ormas tertentu, tetapi kaum intelektual seperti mahasiswa pun bisa melakukan hal yang serupa.
Sebagai daerah yang sedang mencoba menerapkan syari’at Islam secara kaffah, rakyat Aceh, khususnya bagi mahasiswa Aceh, harus mampu menunjukkan karakteristik yang sesuai dengan syari’at Islam. Dalam melakukan aksi demonstrasi tentu harus mengetahui bagaimana menerapkan nilai-nilai syariat yang berlaku dan menjadikan halal-haram sebagai tolak ukur dalam pengambilan keputusan. Jika kita telusuri sejarah kepemimpinan Rasulullah saw, kita belum pernah membaca kejadian demonstrasi yang menuntut Rasulullah atas hak atau kebijakannya karena beliau memang seorang Rasul dan pemimpin yang telinganya sepenuhnya diberikan untuk mendengarkan umatnya yang terpimpin. Sungguh beliau dalam hal ini adalah contoh bagi para pemimpin. Beliau juga tidak pernah menjadikan dan menggunakan demonstrasi sebagai metode untuk mengubah masyarakat jahiliah di kota Makkah menjadi masyarakat Islam. Memang, beliau pernah melakukan aktivitas masirah satu kali di kota Makkah. Pada saat itu, beliau memerintahkan kaum Muslim keluar dan berjalan membentuk dua shaf barisan. Satu dipimpin oleh ‘Umar ibn al-Khatab dan lainnya dipimpin oleh Hamzah ibn ‘Abdul Muthalib r.a. Dengan diiringi suara takbir, kaum muslimin berjalan mengelilingi Ka’bah. Yang dilakukan Rasulullah saw adalah mengambil salah satu cara yang tidak pernah dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat lain sebelumnya yang ditujukan dalam rangka mengekspose dakwah Islam.
Sementara itu, pada saat sekarang ini demonstrasi sudah dianggap sebagai metode yang ‘tepat’ untuk dilaksanakan, karena apabila suatu negara telah mempraktekkan hukum demokrasi maka logisnya dia harus menerima dan bersiap-siap untuk didemonstrasi. Selain itu, sering terjadi beberapa kesalahan dalam melakukan demonstrasi, antara lain melakukan aksi kekerasan dengan merusak fasilitas umum, membakar ban bekas, meluapkan emosi dengan suara keras dan kata-kata kotor, membuat kemacetan dijalan raya bahkan sering terjadi penyiksaan terhadap diri sendiri, seperti aksi mogok makan sehingga beberapa orang dari mereka harus dilarikan ke rumah sakit. Tindakan seperti itu tentu dilarang dalam Islam, apalagi jika sampai membahayakan nyawa sendiri dan orang lain.
Di samping itu, dalam Islam tidak mengenal prinsip dan kaidah ‘menghalalkan segala cara’, sebagaimana yang dianut oleh masyarakat Sosialis, Komunis, dan Kapitalis. Tindak-tanduk seorang muslim, mahasiswa muslim, dan penguasa muslim wajib terikat dengan syari’at Islam, termasuk dalam mengungkapkan aspirasi atau pendapat dengan berdemontrasi maupun dalam melakukan proses perubahan di tengah-tengah masyarakat. Syari’at Islam sangat menekankan nilai-nilai kemaslahatan bersama. Tidak pantas sekiranya, bagi mahasiswa yang dipandang sebagai kaum intelektual dan penerus di masa depan, sementara dalam mengungkapkan aspirasi atau pendapat melakukan aksi dengan menghalalkan segala cara, mencampakkan tolok ukur halal-haram, dan membuang tuntunan syariat Islam.
Secara singkat, Islam membolehkan demonstrasi sepanjang tidak keluar dari koridor Al-Qur’an dan Hadis. Jika kita perhatikan dalam surat An-Nahl ayat 125 disebutkan: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS An-Nahl [16]: 125).
Dari ayat tersebut, jelas cara menyeru kepada jalan Tuhan (kebenaran) adalah dengan cara yang baik dan hikmah atau bijaksana. Begitu pula jika ingin membantah suatu kebijakan, maka tetap harus dilakukan dengan cara yang baik. Islam juga menyuruh agar para pemegang kebijakan dalam pemerintahan memenuhi hak dan kebutuhan masyarakat. Bahkan, sejumlah hadis memberikan ancaman bagi pemimpin yang mangkir menjalankan kewajiban mereka kepada rakyat.
Oleh karena itu, aksi demonstrasi yang dilakukan oleh setiap mahasiswa harus mematuhi rambu-rambu yang telah ditetapkan dalam syariat. Aksi demonstrasi itu diperbolehkan jika tuntutan tersebut bukan untuk melegalkan perkara yang diharamkan. Disamping itu, demonstrasi harus menggunakan slogan dan kata-kata yang diperbolehkan syariat dan harus terhindar dari anarkisme, penjarahan, atau perkara mudharat lainnya. Apabila syarat-syarat tersebut tak terpenuhi, hukum berdemonstrasi dilarang karena mudharat yang akan ditimbulkan jauh lebih besar.
Proses penyampaian pendapat mahasiswa kepada pemerintah sebenarnya memiliki beberapa tahapan. Pertama, melakukan kajian terlebih dahulu. Setelah itu, berjuang melalui diplomasi, baik dengan mengajukan nota, memorandum atau surat yang langsung ditujukan ke instansi terkait. Disamping itu, demonstrasi dengan cara pencegahan juga bisa dilakukan, seperti dalam kasus korupsi, sebagai mahasiswa tentu wajib memberi ilmu dan pengetahuan tentang perilaku tercela korupsi, prakteknya bisa mensosialisasikan dampak dan bahaya dari korupsi tersebut. Jika proses tersebut tidak didengar dan direspon, maka dilakukan demonstrasi damai. Namun, jika masih tidak dipedulikan, maka aksi “berdemonstrasi” merupakan cara terakhir yang bisa ditempuh.
Hal yang perlu ditekankan untuk mencapai tujuan demonstrasi tersebut adalah supaya instansi yang di demo “tergerak” secara lahir dan batin. Kita ketahui bahwa batin manusia tergerak jika dilakukan secara halus dan elegan.  Meminta uang sepuluh ribu rupiah secara baik-baik akan lebih efektif daripada meminta uang seribu rupiah dengan ancaman. Bagitulah seharusnya sikap kita sebagai mahasiswa Aceh yang mampu mengindahkan nilai-nilai syariat dalam setiap aksi yang dilakukan.
Dengan demikian, demonstrasi bisa dilakukan terlebih dahulu dengan cara-cara yang lebih baik dan sesuai dengan nilai-nilai syari’at, tidak mesti secara langsung menggelar aksi dijalanan, membawa spanduk, membakar ban bekas, atau bahkan ada yang hanya ikut-ikutan saja ketika menggelar aksi tersebut tanpa mengetahui sebab–sebab yang melatarbelakanginya. Hal ini tentu perlu pertimbangan yang logis supaya terhindar dari berbagai masalah baru yang mungkin ditimbulkan serta terhindar dari adanya fitnah. Alangkah bagusnya ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tatkala mengatakan, “Apabila terjadi suatu fitnah maka orang pandai pun tidak sanggup untuk membendung orang bodoh. Demikianlah keadaan fitnah sepanjang zaman, apabila terjadi, maka tidak ada yang selamat darinya kecuali orang yang diselamatkan oleh Allah semata.” Oleh karena itu, kita sebagai mahasiswa Aceh harus pandai-pandai menyikapi persoalan tersebut sesuai dengan tuntunan syariat, bukan menyikapinya dengan emosional dan tindakan gegabah yang pada akhirnya malah meruncingkan masalah.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka selain demonstrasi dengan cara yang baik dan syar’i, penulis juga menyuguhkan sebuah cara yang berasaskan pada rasa saling menghormati yaitu dengan cara membuat tulisan-tulisan menyangkut segala aspirasi yang ingin disampaikan, yang pastinya sangat bermanfaat bagi pembacanya. Sebagai mahasiswa Aceh yang memiliki intelekualitas tinggi, dapat menghadirkan suatu karya dalam bentuk tulisan sebagai wadah penyaluran aspirasi atau pendapat. Kita bebas berkreasi lewat tulisan dan dunia akan membaca tulisan-tulisan tersebut. Melalui sikap yang kritis, kita bisa mencoba menelusuri permasalahan sampai ke akar-akarnya.  Berdakwah dalam membela kepentingan umat tidak selalu ditunjukkan dengan aksi dan tindakan, tetapi juga bisa melalui tulisan. Semoga kita menjadi demonstran yang bijak, tunjukkan bahwa kita memiliki kesungguhan dalam membela masyarakat, melindungi hak-hak mereka dengan melakukan cara yang benar dan sesuai dengan nilai-nilai syariat.
§  Penulis adalah mahasiswa Syari’ah Mu’amalah wal Iqtishad
(tulisan ini telah diikutsertakan dalam perlombaan penulisan opini)