PENDAHULUAN
Syari’at
Islam selama ini telah berjalan dari masa ke masa. Ia cocok untuk setiap
generasi yang ada dan mampu berdialek dengan realitas kehidupan yang kompleks.
Prinsip–prinsip hukumnya telah rnempengaruhi hukum dan perundang-undangan yang
hidup dan berkembang. Lebih dari itu ia juga berfungsi untuk menjamin keadilan,
ketenangan, keharmonisan dan kemaslahalan hidup manusia dalam berbagai sikon,
kapan dan dimana saja berada. Pada masa Rasulullah SAW. sumber tasyri’ dipegang
oleh beliau sendiri. Jika umat islam menghadapi suatu permasalahan, mereka akan
langsung mengembalikan permasalahan itu kepada Rasul. Dengan demikian,
selesailah sudah permasalahan yang mereka hadapi. Namun sepeninggal Rasulullah,
para sahabat nabilah yang menjadi tumpuan umat islam dalam menghadapi persoalan
yang terjadi saat itu.
Sahabat adalah generasi Islam pertama yang meneruskan ajaran
dan misi kerasulan, dimana ia dalam menentukan hukum Islam selalu berpegang
pada fatwa Rasul yang telah ada. Akan tetapi dari satu sisi itu pula sahabat
menemukan yang memang dalam fatwa Rasul tidak ada, mereka berupaya untuk
berijtihad tetapi masih dalam takaran syariat keislaman yang di sandarkan pada
Al-Quran dan Al-Hadits. Peride sahabat ini dimulai pada masa Abu Bakar Siddiq,
Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Tasyri’
pada masa sahabat juga sudah dimulai oleh nuansa politik, dimana suatu
penetapan hukum juga sudah berbau politik. Dan mungkin pula ada banyak
perbedaan penentuan hukum melihat pada tatanan sosial politik kala itu. Mereka
sudah mulai berinterpretasi tentang Al-Quran dan al-Hadits demi maslahatul umat
yang di lihat pada tatanan sosialnya.[1]
PEMBAHASAN
A.
Kondisi Tasyri’ Pada Masa Sahabat
Dengan wafatnya Nabi Muhammad, berhentilah wahyu yang
turun selama 22 tahun 2 bulan 22 hari yang beliau terima melalui malaikat
jibril baik waktu beliau masih berada di Makkah maupun setelah hijrah ke
Madinah. Demikian juga halnya dengan sunnah, berakhir pula dengan meninggalnya
Rasulullah itu.
Kedudukan nabi Muhammad sebagai utusan Tuhan tidak
mungkin diganti, tetapi tugas beliau sebagai pemimpin masyarakat islam dan
kepala Negara harus dilanjutkan oleh orang lain. Pengganti nabi Muhammad
sebagai kepala Negara dan pemimpin umat islam ini disebut Khalifah, suatu kata
yang dipinjam dari Al-Qur’an (Surat 2:30). Di dalam Al-Qur’an selain surat
Al-baqarah ayat 30 itu terdapat perkataan khalifah yang tersebar dalam sebelas
ayat. Ide yang dapat disimpulkan dari ayat-ayat tersebut adalah bahwa manusia
harus mempunyai tujuan hidup menata dunia ini. dan sebagai khalifah (wakil)
Tuhan dibumi ini, manusia harus menerjemahkan segala sifat-sifat Tuhan kedalam
kenyataan hidup dan kwhidupan dan wajib
mengatur bumi ini sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan-Nya. Manusia
wajib melakukan tugas unutk mencapai tujuan hidupnya menurut pola yang telah
ditentukan oleh Tuhan dalam ajaran-ajaran-Nya.[2]
Pengangkatan seorang khalifah dapat terjadi dengan
persetujuan masyarakat sebagaimana yang terjadi dalam kasus Abu Bakar, atau dengan
penunjukan khalifah sebelumnya seperti kasus Umar. Jika diperlukan pemilihan,
dapat dibentuk suatu badan khusus menyelenggarakan pemilihan itu. Sesudah
dipilih, khalifah harus berjanji bahwa ia akan memenuhi kewajiban yang
dipercayakan kepadanya. Ia harus melaksanakan janjinya dengan setia, sebab
tanggung jawab dan kewajibannya sebagai kepala Negara, jauh lebih berat dari hak-hak istimewa yang ada padanya. Ia
mendapat janji setia (bai’at) dari rakyat atau wakil-wakilnya yang memenuhi
syarat.
Demikianlah untuk menggantikan kedudukan Nabi
Muhammad sebagai pemimpin umat dan kepala Negara, dipilihlah seorang pengganti
yang disebut khalifah dari kalangan sahabat Nabi sendiri. Sahabat nabi adalah
orang hidup semasa dengan nabi, menjadi teman atau kawan nabi Muhammad dalam
menyebarkanluaskan ajaran islam. Para sahabat Nabi ini silih berganti selama empat periode, yaitu
Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi
Thalib.[3]
Periode
kekuasaan pemerintahan Nabi Muhammad saw hanya meliputi semenanjung Arabia,
tetapi periode Sahabat meliputi wilayah arab dan non-Arab, sehingga masalah
yang muncul semakin kompleks sementara ketetapan hukum yang rinci di dalam
Al-Quran dan al-Hadits terbatas jumlahnya. Oleh karena itu, Para sahabat menghadapi
banyak masalah yang tadinya tidak terdapat di masyarakat Arab. Misalnya masalah
pengairan, keuangan, kemiliteran, pajak, cara penetapan hukum di pengadilan,
dan lain-lain. Pada masa inilah mulai muncul interpretasi terhadap nash-nash
Al-Quran yang diterima oleh Rasulullah saw, dan terbukalah pintu istinbat
terhadap masalah-masalah yang tidak ada didalam nash secara jelas. Dalam masa
ini pula Islam mulai berkembang pesat meluas sampai ke-Timur dan ke-Barat,
sahabat-sahabat besar dalam masa ini mencoba untuk menginterpretasikan
nash-nash hukum baik dalam Al-Quran maupun Al-hadits, yang kemudian menjadi
pegangan untuk menta’wil nash-nash yang belum jelas itu. Selain dari pada itu
para sahabat besar memberikan fatwa-fatwa dalam berbagai masalah dalam kejadian-kejadian
sosial maupun politik yang tidak ada kejelasan dalam nash mengenai hal itu,
yang kemudian itu menjadi dasar sebagai bahan untuk berijtihad. Para sahabat
juga dapat dikatakan sebagai musyari’ yaitu menerangkan hal dan tidak
ketinggalan memberikan fatwa dalam urusan-urusan yang tercantum secara tersurat
dalam nash. Jika ini semua di hadapkan pada kita, maka tidak sepatutnya kita
merasakan keheranan, sebab mereka dalam kesehariannya selalu bergaul dengan
Nabi, sehingga mereka menyaksikan dan mengetahui asbabun-nuzul serta
asbabul-wurud suatu hadits melebihi pengetahuan ulama-ulama’ sesudahnya. Bahkan
Para sahabat bergabung dalam kelompok yang biasa diajak bermusyawarah oleh Rasululloh
saw. Karena itulah maka munculah kepercayaan umat yang perlu di simak, pada
periode ini fatwa-fatwa dan masail fiqhiyah masih dicampur dengan dalil-dalil
dan kaidah-kaidah istidlal. Penetapan-penetapan pada waktu itu sebagian besar
hanya bersifat melanjutkan apa yang pernah diperbuat oleh Nabi, kecuali
mengenai beberapa peristiwa yang pada zaman Nabi belum ada.[4]
B.
Faktor-faktor Penyebab Perkembangannya
Para
sahabat memainkan pesan yang sangat
penting dalam membela dan mempertahankan agama. Mereka tidak cukup melaksanakan
dan melestarikan syari’at yang dibawa Nabi Saw, tetapi juga membentangkan sayap
dakwah Islam hingga kemancanegara. Ini untuk kali pertama syari’at Islam
khususnya fiqih berhadapan dengan berbagai persoalan baru. Misalnya masalah
seputar moral, etika, kultur, dan kemanusiaan dalam suatu masyarakat yang
sangat majemuk.
Fase ini adalah adalah fase yang paling dominan, dalam mempengaruhi perkembangan syari’at. Wilayah-wilayah yang dibuka dan dibebaskan saat itu memiliki perbedaan masalah kultural, tradisi situasi dan kondisi yang menghadang para fuqaha’ dari kalangan sahabat, khususnya Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali untuk memberikan suatu fatwa.
Fase ini adalah adalah fase yang paling dominan, dalam mempengaruhi perkembangan syari’at. Wilayah-wilayah yang dibuka dan dibebaskan saat itu memiliki perbedaan masalah kultural, tradisi situasi dan kondisi yang menghadang para fuqaha’ dari kalangan sahabat, khususnya Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali untuk memberikan suatu fatwa.
Para
Sahabat dengan tingkat pemahaman yang tinggi terhadap Al Qur’an dan Sunnah,
menyikapi terhadap persoalan-persoalan yang datang dengan langsung merujuk
kepada al-qur’an dan As-Sunnah. Adakalanya mereka menemukan nash dalam
al-Qur’an dan hadits secara tersurat, tetapi juga tidak jarang mereka tidak
menemukan dalam dua sumber pokok syari’at Islam tersebut. Kondisi yang demikian
ini mendorong mereka secara paksa untuk berjuang menggali kaidah-kaidah dasar
dan tujuan moral dari berbagai tema-tema dalam Al Qur’an untuk diaplikasikan
terhadap persoalan-persoalan baru.
Konsekuensi
lain dari perluasan wilayah Islam adalah bercampurnya orang-orang Arab dengan
yang lainnya. Sebagian dari mereka banyak yang memeluk Islam, tetapi sebagian
tetap pada agama dan kepercayaan masing¬-masing. Dari sini muncul suatu
tuntutan untuk menetapkan hukum baru yang mengatur hubungan orang-orang Islam
dengan orang-orang non Muslim. Para fuqaha’ untuk yang kesekian kalinnya
berusaha merumuskan bagaimana Islam mengatur pluralitas hidup seperti ini.
Termasuk disini adalah persoalan baru yang belum pernah terjadi pada era
kenabian disamping belum ada sumber hukum yang secara jelas-jelas merinci hukum
masalah ini.
Ada tiga hal pokok yang berkembang waktu
itu sehubungan dengan hukum:
1. Begitu banyaknya muncul kejadian baru
yang membutuhkan jawaban hukum yang secara lahiriyah tidak dapat ditemukan
jawabannya dalam Al-Qur’an maupun penjelasan dari sunah Nabi.
2. Timbulnya masalah-masalah yang secara
lahir telah di atur ketentuan hukumnya dalam Al-Qur’an maupun Sunah Nabi, namun
ketentuan itu dalam keadaan tertentu sulit untuk diterapkan dan menghendaki
pemahaman baru agar relevan dengan perkembangan dan persoalan yang dihadapi.
3. Dalam Al-Qur’an ditemukan penjelasan
terhadap suatu kejadian secara jelas dan terpisah. Bila hal tersebut berlaku
dalam kejadian tertentu, para sahabat menemukan kesulitan dalam menerapkan
dalil-dalil yang ada.[5]
C.
Sumber-sumber Tasyri’ Pada Masa Sahabat
Sumber
Tasyri’ pada masa ini adalah Al Qur’an, As-sunnah dan ljtihad (termasuk
didalamnya ijma’ dan qiyas). Sebab pada hakekatnya keduanya dihasilkan dari
jerih payah mujtahiddin. Al qur’an pada masa ini sudah dibukukan, yaitu pada Utsman
bin Afan, setelah dipertimbangkan akan kemaslahatannya yang lebih besar. Adapun
sumber hukum Islam yang kedua adalah Hadits, yang ketika itu belum dibukukan,
sebab dikhawatirkan akan bercampur dengan al-Qur’ an. Meski demikian upaya untuk pemeliharaan tetap
dilakukan. Sehingga kebenaran riwayatnya dapat dijamin. Abu Bakar Misalnya,
beliau tidak mau menerima hadits dari seseorang kecuali mendapat pengakuan dan
pengetahuan dari orang lain yang terpercaya. Umar bin Khattab menuntut adanya
bukti-bukti bahwa hadits tersebut datang dari Rasulullah. Demikian juga Ali bin
Abi Thalib, beliau senantiasa menyumpah perawinya.
Kemudian
sumber hukum yang ketiga, adalah ijtihad. Para shahabat dalam berijtihad tidak
selalu sama, artinya pendapat mereka kadang-kadang berbeda. Berkenaan dengan
ini Ibnu Qoyyim pernah berkata bila seseorang sahabat mengemukakan pendapat
atau mengemukakan suatu hukum atau memberikan fatwa, tentu ia telah mempunyai
pengetahuan, baik yang dimiliki oleh para sahabat maupun pengetahuan yang kita
miliki. Adapun pengetahuan yang hanya dimiliki oleh sahabat, mungkin didengar
langsung dari Nabi melalui sahabat yang lain. Pengetahuan yang hanya diketahui
oleh masing-masing sahabat banyak sekali, sehingga para sahabat tidak semua
dapat meriwayatkan semua hadits¬hadits yang didergar dari Khulafa’ ar Rasyidin
dan sahabat-sahabat lainnya.[6]
Walaupun Abu bakar Assiddiq selalu
mendampingi Nabi, hingga nabi tidak pernah lepas dari pantauan Abu Bakar dan ia
digolongkan sebagai orang yang mengetahui tentang Rasulullah SAW, tetapi
hadits-hadits yang ia riwayatkan tidak lebih dari seratus hadits. Anggapan
orang bahwa seorang sahabat selalu meriwayatkan suatu Hadits atau menyatakan
suatu kejadian yang ia ketahui, adalah anggapan yang keliru, bahwa orang
tersebut tidak mengetahui sikap dan tingkah laku para sahabat. Sebab mereka
sangat takut untuk meriwayatkan suatu hadits, lantaran khawatir akan menambah
atau mengurangi hadits tersebut. Karena itu mereka sedikit sekali meriwayatkan
dan hanya menceritakan apa yang mereka dengar dari Rasulullah, atau sabda
beliau.
D.
Metode dalam Mengenal Hukum
Para Sahabat dalam menghadap suatu masalah atau berbagai masalah mereka
lebih dahulu mencari nashnya dari Al Quran atau Sunnah, kalau mereka tidak
menemukan dalam Al Quran dan Sunnah mereka mengadakan pertemuan dengan fuqoha
sahabat untuk meminta pendapat mereka. Apabila mereka telah sepakati suatu
pendapat, maka mereka menetapkan pendapat itu sebagai suatu keputusan. Inilah
yang disebut ijma’.
Untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan baru para sahabat kembali kepada Alqur’an dan Sunnah Nabi.
Para sahabat banyak yang hafal al-Qur’an, kendati pernah timbul keresahan
ketika banyak yang gugur ketika menghadapi peperangan. Karenanya kembali kepada
al-Qur’an itu mudah. Hadits memang diriwayatkan dan dihafal. Tetapi nasib
hadits tidak sebagus al-Qur’an karena perhatian mereka lebih terpusat kepada
al-Qur’an. Disamping dihafal, al-Qur’an juga ditulis. Namun demikian, sumber
hukum Islam dimasa ini adalah al-Qur’an dan hadits. Berdasar kedua sumber hukum
itulah para kahlifah dan sahabat berijtihad dengan menggunakan akal pikiran.
Pada umumnya dalam
memutuskan hukum, sahabat tidak sendirian, tetapi bertanya terlebih dahulu
kepada sahabat lain, takut kalau salah. Sikap ini menunjukkan bahwa penafsiran
terhadap al-Qur’an bukan hak perogratif sahabat. Selanjutanya keputusan diambil
dari hasil consensus, yang lazim disebut ijma’. Melihat luasnya
kekuasaan Islam, tetapi kesepakatan beberapa pemuka Islam yang dipandang
mewakili keseluruhan.
Pada awal masa sahabat
ini , yaitu pada masa khalifah Abu Bakar dan masa khalifah Umar, para sahabat
dengan cara bersama-bersama menetapkan hukum terhadap sesuatu yang tidak ada
nashnya. Hukum yang di keluarkan oleh para sahabat dengan cara bersama-sama ini
di sebut sebagai ijma’ sahabat.
Khalifah Umar pun berbuat
demikian, yaitu apabila sulit baginya mendapatkan hukum dalam al-qur’an dan
as-sunnah, maka beliau memperhatikan apakah telah ada keputusan-keputusan
terhadap masal itu. Jika Abu Bakar mendapatkan suatu keputusan hukum, maka Umar
memutuskan dengan hukum itu, dan kalau tidak maka beliau memanggil
pemuka-pemuka kaum muslimin, apabila sepakat tentang hukum tersebut, maka beliau
memberikan keputusan dengan hukum yang telah di sepakati tersebut.[7]
Jadi, dalam menghadapi permasalahan yang
terjadi, berkembanglah pemikiran para sahabat. Adapun metode yang digunakan
pada masa sahabat dapat melalui beberapa cara diantaranya :
a.
Dengan
semata pemahaman lafaz yaitu memahami maksud yang terkandung dalam lahir lafaz.
Umpamanya bagaimana hukum membakar harta anak yatim. Ketentuan yang jelas
dalamm alquran hanya larangan memakan harta anak yatim. Ketentuan jelas dalam
alquran hanya larangan memakan harta anak yatim secara aniaya, sedangkan hukum
membakarnya tidak ada. Karena semua orang itu tahu bahwa membakar dan memakan
harta itu sama dalam hal mengurangi atau menghilangkan harta anak yatim, maka
keduanya juga sama hukumnya yaitu haram. Cara ini kemudian disebut penggunaan
metode mafhum.
b.
Dengan
cara memahami alasan atau illat yang terdapat dalam suatu kasus (kejadian) yang
baru, kemudian menghubungkannya kepada dalil nash yang memiliki alasan atau
illat yang sama dengan kasus tersebut. Cara ini kemudian disebut metode qiyas.[8]
E.
Sebab-sebab Timbulnya Perbedaan Pendapat Dalam Penetapan
Hukum
Menurut
Para ahli, timbulnya perbedaan pendapat di kalangan sahabat disebabkan adanya
beberapa faktor, setidaknya kita perlu mengatakan lima persoalan mendasar yang
menyebabkan beberapa ikhtilaf pada periode ini.
1) Perbedaan
dalam memahami nash al-Qur’an dan Hadits.
Perbedaan seperti ini biasanya disebabkan karena tidak
jelasnya batasan pengertian nash dan perbedaan persepsi dikalangan sahabat
seperti persoalan quru’, Adanya aya-ayat ahkam yang musytarak, atau belum pasti
pengertiannya (dzanni). Dalam Surat Al baqarah : 228 memiliki dua pengertian.
Menurut Zaid bin Tsabit, quru’ berarti suci, sementara Umar bin Khattab
memahaminya sebagai Haidh.
2) Munculnya
dua persoalan yang merujuk pada dua nash saling berlawanan kesepakatan akhir
dari para sahabat bahwa masalah seperti ini harus melewati tiga tahapan,
caranya mencari titik temu antara dua nash tersebut, baru kemudian mencari
dalil-dalil yang rnenguatkan salah satu dari nash (at-Tarjih), dan jika kedua
cara tersebut tidak memungkinkan maka diterapkan teori nash.
3) Sebagian
fuqaha dari kalangan sahabat mengatakan bahwa suatu peristiwa berdasarkan
pengetahuan dari sunnah, sementara yang lain belum mendapatkannya atau
menganggapnya tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai hadits shahih. Pada
masa ini terjadi seleksi yang sangat ketat terhadap periwayatan hadits.
Beberapa hadits yang dijadikan sebagai sumber hukum oleh Sebagian fuqaha’
ditolak oleh fuqaha’ lain sebab berbagai alasan. Selektifnya penerimaan
periwayatan hadits ini diatur pihak dan kecenderungan untuk mengamalkan hadits
dilain pihak, terutama dikalangan ulama’ Madinah .
4) Perbedaan
kaidah dan metode ijtihad dari para sahabat.
Dari perbedaan penggunaan kaidah dan metode ini muncul
beberapa perbedaan pendapat dalam suatu persoalan yang sama dan ini sangat
memperkaya perbendaharaan fiqh Islam.
5) Hal
ini adalah yang terpenting, kebebasan dan kesungguhan para sahabat periode
Sahabat dalam melakukan ijtihad terhadap berbagai masalah yang mereka hadapi.
Kebebasan dan kesungguhan inilah yang menjadi sumber konseptualisasi dan
redinamisasi syariat periode ini.
6) Perbedaan
mereka dalam menerima hadits dari Rasulullah. Sebagian sahabat ada yang
menerima hadits dengan jelas dan cukup banyak, sementara yang lain hanya
menerima sebagian saja. Hal ini disebabkan karena kondisi tempat tinggal
mereka. Bagi yang dekat dengan Rasulullah, praktis mereka banyak menerima
hadits, demikian sebaliknya.[9]
Jadi
dengan adanya faktor tersebut, maka munculah beberapa fatwa diantara mereka,
yang masing-masing mempunyai dalih dan argumentasi yang berbeda. Akan tetapi,
fatwa-fatwa pada waktu itu hanya terbatas pada persoalan-¬persoalan tertentu
yang mendesak saja. Perbedaan pendapat belum begitu meluas, sebab problem hukum
yang muncul saat itu masih relatif sedikit ketimbang sesudahnya. Disamping
konsensus mereka (ijma’) yang masih sangat dimungkinkan. Diantara sahabat besar
yang sangat menghindari ijtihad/ra’yu adalah Ibnu Abbas Zubair, dan Abdulah bin
Umar, Dan yang terkenal besar Ijtihad adalah Umar Bin Khattab dan Abdullah bin
Masud.
Diantara para sahabat yang memegang
peran penting dalam hukum pada masa ini adalah: Abu Bakar, Umar bin Khattab,
Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Dzaid bin Tsabit, Ubay Bin Ka’ab Abdulah
bin Umar, Aisyah, isteri nabi. Mereka semua tinggal di Madinah, termasuk
beberapa sahabat yang lain.
F.
Contoh-contoh penerapan hukum (Ijtihad) Para Sahabat
Para
sahabat dalam mencari istimbat hukum pasti merujuk pada Al-Qur’an dan Hadits.
Akan tetapi permasalahan terjadi ketika dalam dua sumber hukum ,tersebut tidak
ada rujukan, sehingga para sahabat harus menggunakan penalarannya, untuk
memecahkan masalah yang sedang terjadi. Berikut ini beberapa contoh penerapan
hukum pada masa sahabat:
a. Memerangi
orang yang tidak mau membayar zakat
Allah SWT. Dalam Al-Qur’an mewajibkan zakat. Nabi
dalam Sunnah-Nya menyebutkan bahwa zakat itu di ambil dari orang kaya dan
diberikan kepada orang miskin. Nabi disuruh Allah unutk mengambil harta zakat
dari umatnya (At-taubah:103). Cara yang dilakukan Nabi adalah cara yang
bijaksana sesuai dengan pesan Allah unutk berdakwah dengan cara bijaksana
(An-nahl:125). Atas kesadaran umat waktu itu, kewajiban zakat dapat terlaksana
dengan baik.
Pada masa Abu Bakar menjadi khalifah, beliau melihat
bahwa pemungutan zakat secara lemah lembut seperti yang dilakukan Nabi tidak
efektif lagi karena adanya kecenderungan pembangkangan dari sebagian masyarakat
terhadap kewajiban membayar zakat. Karena itu Abu Bakar mengambil sikap yang
keras, bahkan menetapkan unutk memerangi orang-orang yang tidak mau membayar
kewajiban zakat. Dasar pemikiran Abu Bakar ialah bahwa menempuh sikap lemah
lembut sebagaimana dilakukan oleh Nabi, kewajiban membayar zakat tidak dapat
ditegakkan.
b. Larangan meminum khamar
Allah melarang meminum khamar bagi orang islam
secara tegas (Al-maidah:90) karena perbuatan tersebut merupakan dosa besar,
maka Nabi melalui ijtihadnya menetapkan sanki minum khamar, yaitu dera sebanyak
40 kali. Pelaksanaan sanksi yang ditetpkan Nabi itu dapat menjerakan orang.
Dengan demikian tujuan larangan tercapai.
Pada masa Umar bin Khatab menjadi khalifah,
kebiasaan minum khamar waktu jahiliyah kmbuh lagi dikalangan orang islam dan
sanksi dera 40 kali sudah kurang efektif sebagai alt penjera. Umar memikirkan
cara unutk mebuat orang jera minum khamar yang merupakan tujuan dari hukum.
Dalam hal ini Umar menetapkan sanksi minum khamar menjadi 80 kali dera,
sehingga ornag menjadi bertambah takut meminum khamar. Dengan demikian, sanksi
yang ditetapan Umar berbeda dengan yang ditetapkan Nabi sebelumnya, unutk mencapai
tujuan larangan, yaitu menjerakan berbuat kejahatan.[10]
c. Penetapan azan shalat jum’at dua kali
Pada masa Nabi, azan memberi tahu masuk waktu Jum’at
dilakukan satu kali, yaitu setelah khatib naik mimbar. Hal ini merupakan
pemahaman terhadap ayat 9 surat al-jumu’ah yang berbunyi:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä
#sÎ)
ÏqçR
Ío4qn=¢Á=Ï9
`ÏB
ÏQöqt ÏpyèßJàfø9$# (#öqyèó$$sù 4n<Î)
Ìø.Ï «!$# (#râsur
yìøt7ø9$# 4
öNä3Ï9ºs
×öyz öNä3©9 bÎ)
óOçGYä.
tbqßJn=÷ès?
ÇÒÈ
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat
Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual
beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui.”
Azan satu kali itu dimasa Nabi telah cukup untuk
memberi tahu orang islam untuk menghadiri shalat jum’at. Pada waktu Utsman bin
Affan menjadi khalifah, umat islam semakin banyak dan wilayahnya semakin luas.
Kalau azan hanya satu kali saja, pemberitahuan belum tentu akanmerata keseluruh
umat di sekitar itu. Karena utsman menetapkan azan shalat Jum’at menjadi dua
kali. Hal ini dijelaskan dalam sebuah atsar dari Su’eb bin Jazid menurut
riwayat Bukahri, Nasa’I, dan Abu Daud:
“Adalah pada mulanya
azan Jum’at itu bila khatib telah duduk di atas mimbar pada masa Rasul Allah,
Abu Bakar, dan masa Umar. Pada masa Utsman dan telah banyak orang, ditambah
azan itu menjadi tiga kali (satu kali terakhir adalah iqamah).”[11]
d. Pernikahan seorang
wanita yang sedang dalam ‘iddah
‘Iddah wanita yang diceraikan suaminya dalam keadaan
hamil dijelaskan Allah dalam surat ath-thalaq:4, yaitu sampai melahirkan anak:
àM»s9'ré&ur
ÉA$uH÷qF{$#
£`ßgè=y_r& br&
z`÷èÒt £`ßgn=÷Hxq 4
“Perempuan hamil yang
bercerai ‘idhnya melahirkan anaknya.”
(At-Thalaq:4)
Tentang ‘idah wanita yang kematian suaminya
disebutkan Allah dalam surat Al-Baqarah:234, yaitu empat bulan sepuluh hari:
tûïÏ%©!$#ur
tböq©ùuqtFã öNä3ZÏB
tbrâxtur
%[`ºurør& z`óÁ/utIt £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/
spyèt/ör& 9åkôr& #Zô³tãur
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya
(ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.” (Al-Baqarah:234)
Tetapi tidak ada penjelasan yang pasti dari Allah
maupun dari Nabi tentang ‘idah wanita yang kematian suami dalam keadaan hamil;
apakah menggunakan ayat 4 surat Ath-Thalaq meskipun belum 4 bulan 10 hari
sebagaimana yang dikehendaki ayat 234 surat Al-Baqarah. Atau menggunakan ayat
234 surat Al-Baqarah meskipun anaknya belum lahir sebagaimana yang dituntut
dalam surat Ath-Thalaq:4.
Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan
sahabat. Ali bin Abi Thalib berpendapat dan berfatwa bahwa ‘idah wanita itu
adalah masa yang terpanjang diantara dua masa itu. Dasar pertimbangannya adalah
kehati-hatian dalam mengamalkan dua ayat tersebut diatas. Ulama lain diantaranya
Umar bin Khatab berpendapat bahwa ‘idahnya tetap melahirkan anak, meskipun
belum sampai masanya 4 bulan 10 hari.[12]
e. Unta
tersesat
Perbedaan
pendapat terjadi tentang masalah unta yang tersesat (berkeliaran) dan tidak
diketahui pemiliknya, apakah boleh diamankan seperti barang temuan lainnya,
atau tidak. Ikhtilaf itu terjadi karena ada hadits yang menyebutkan bahwa
unta-unta itu harus dibiarkan hingga ditemukan sendiri. ketika kondisi
pemerintahan mulai goncang dan keamanan mulai tidak terjamin, Utsman
berpendapat bahwa unta-unta sebaiknya diamankan, Tetapi Rasulullah melarang
untuk mengamankan. Kata Utsman, karena tidak mungkin ada yang mencurinya. Namun
sekarang dalam suasana melemahnya gairah keagamaan ini unta-unta harus
diamankan untuk kemaslahalan, Kalau tidak ia akan dicuri orang”.[13]
Sikap
Utsman ini bertentangan dengan kebijaksanaan Umar yang mengamalkan hadits Nabi
tadi, Disini tampaknya Utsman menerapkan ‘Illat Umar melaksanakan nash dari
hadits karena adanya illat yaitu” suasana Aman”. Ketika llat itu tidak ada maka
nash tidak cukup syaratnya untuk diterapkan. Jika diamalkan maka pengamalan
nash itu tidak akan mewujudkan kemaslahalan yang merupakan tujuan utama Nash
tadi.
Demikianlah sekedar contoh pemikiran sahabat tentang
hukum , baik dalam hal tidak ada dalil tertulis yang menjelaskannya, atau
keadaan sudah berubah yang menghendaki perubahan pemikiran; atau dalam bentuk
ketiga yaitu penerapan ayat terhadap dua kejadian yang bergabung. Pemikiran ini
menghasilkan pendapat berbeda yang pada akhirnya menghasilkan pihak-pihak yang
berbeda, masing-masing diikuti para pengikutnya. Perbedaan ini pada umumnya
disebabkan oleh karena tidak adanya petunjuk yng pasti dari Al-Qur’an dan tidak
ada pula penjelasan dari Nabi.