BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan salah satu instrumen penting dalam meningkatkan kemajuan suatu negara atau daerah, sesuai dengan amanat UUD 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Jepang misalnya, pasca kekalahan Perang Dunia ke-2 yang meluluh lantakkan Hiroshima dan Nagasaki, Kaisar Jepang tidak menanyakan berapa jumlah panglima militer atau ekonom yang masih hidup. Akan tetapi, ia hanya menanyakan berapa jumlah pendidik/guru yang masih hidup? Jawabannya kemungkinan karena pendidikan merupakan modal utama untuk mendesain kembali Jepang di masa depan dan saat ini kita bisa melihat betapa majunya ”Negeri Sakura” tersebut.
Begitu juga halnya dengan Aceh, pasca musibah tsunami banyak munculnya masalah yang berhubungan dengan pendidikan. Betapa tidak, sebagian anak-anak Aceh harus kehilangan pendidikan yang jelas sangat penting untuk menciptakan generasi masa depan yang lebih baik. Di samping itu, banyaknya pembangunan di bidang pendidikan yang harus di rehabilitasi kembali akibat dari musibah tersebut, karena pembangunan juga merupakan faktor penentu dalam proses pendidikan. Dalam kerangka ini pula, pihak pemerintah bersama pihak swasta serta semua lembaga yang terlibat di dalamnya harus memberikan perhatian yang sangat besar dalam membangun kembali sarana dan prasarana pendidikan di Aceh.
Di era informasi dan komunikasi saat ini, generasi Aceh akan berada dibawah naungan dunia atau peradaban global. Peradaban global ini mau tidak mau akan membawa generasi Aceh kepada kompetisi. Di abad kompetisi akan berlaku hukum kompetitif. Intinya adalah terjadinya pertarungan keunggulan secara alami, dan siapa yang unggullah yang akan mencapai keberhasilan.
Oleh karena itu, kualitas atau mutu pendidikan Aceh harus ditingkatkan dengan melakukan berbagai upaya dan strategi dalam bidang pendidikan, agar Aceh bisa mencetak generasi yang lebih unggul dimasa mendatang. Sistem pendidikan yang diterapkan tersebut juga harus mampu membawa generasi Aceh kearah yang lebih baik. Sehingga pendidikan generasi Aceh bisa lebih maju dan mampu bersaing di era kompetitif ini.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang dikemukakan di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut.
1. Bagaimanakah kualitas pendidikan Aceh dalam menghadapi era kompetitif?
2. Apakah strategi yang diterapkan untuk membangun pendidikan Aceh kearah yang lebih baik?
C. Hipotesis
1. Sistem pendidikan Aceh pada zaman sekarang ini masih tergolong rendah dan belum sepenuhnya mampu bersaing dalam era kompetitif. Hal ini membutuhkan pembaharuan pendidikan kearah yang lebih baik.
2. Perlu adanya tinjauan khusus dari pihak-pihak yang terlibat dalam masalah pendidikan, dengan menyempurnakan infra struktur dan supra struktur yang berkaitan dengan pengelolaan dan pembinaan pendidikan di daerah Aceh.
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui kualitas pendidikan di Aceh.
b. Untuk mengetahui berbagai strategi dalam memberdayakan pendidikan Aceh di era kompetitif.
2. Kegunaan Penelitian
a. Hasil penelitian berguna untuk mengembangkan pengetahuan mengenai pendidikan di Aceh
b. Untuk merumuskan konsep pemikiran baru yang dapat diterapkan dalam meningkatkan mutu pendidikan Aceh.
BAB II
DASAR-DASAR TEORITIS
A. Pengertian Pendidikan
Perkembangan dunia pendidikan seiring dengan perkembangannya zaman menyebabkan banyak pola pikir mengenai definisi atau pengertian pendidikan, mulai dari pola pikir yang awam menjadi lebih modern dan hal ini sangat mempengaruhi kemajuan pendidikan pada umumnya.
Menurut Kamus Bahasa Indonesia (1991:232), Pendidikan berasal dari kata didik. Kata ini mendapat awalan kata me sehingga menjadi mendidik artinya memelihara dan memberi latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntutan dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Dalam bahasa Yunani, pendidikan berasal dari kata Pedagogi yaitu kata paid artinya anak sedangkan agogos yang artinya membimbing sehingga pedagogi dapat di artikan sebagai lmu dan seni mengajar anak.
Dalam UU No.20 tahun 2003, disebutkan tentang sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran atau pelatihan agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya supaya memiliki kekuatan spiritual keagamaan, emosional, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, dan akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.[1]
B. Visi dan Orientasi Pendidikan
Visi merupakan pandangan jauh kedepan yang dapat diciptakan oleh supervisor dalam melihat kebutuhan-kebutuhan baik bagi pengembangan kelembagaan maupun pengembangan personal yang sekaligus menjadi pelaksana kelembagaan terkait. Sedangkan orientasi sendiri diartikan sebagai salah satu wacana yang ingin dikembangkan terkait dengan tindakan-tindakan nyata yang dilakukan oleh supervisor dalam rangka pengembangan diri. Adapun visi dan Orientasi pendidikan tersebut adalah:
pertama, orientasi untuk mencari kebenaran. Keinginan untuk mendapatkan kebenaran, baik yang bersifat filosofis, saintifik, maupun religius, Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa mencari kebenaran adalah tugas utama dan layak (proper) bagi seorang manusia. Di antara makhluk yang ada, hanya manusialah yang memiliki akal budi, yang memungkinkannya untuk berpikir, mendapatkan pengetahuan, dan menemukan kebenaran. Pendidikan merupakan sarana bagi manusia untuk mewariskan kebenaran yang sudah ditemukan dalam sejarah manusia kepada generasi berikutnya.
Kedua, kemandirian dan profesionalitas. Dalam program pendidikan peserta didik diajar untuk menafsirkan dan memberi komentar. Yang ditekankan di sini, seperti pada seorang master adalah kemandirian dan profesionalitas dalam mengungkapkan pandangan pribadi.
Ketiga, pengabdian kepada publik. Pendidikan pada akhirnya harus mengarahkan peserta didik pada pengabdian kepada masyarakat banyak. Alasannya adalah setiap manusia adalah makhluk sosial, yang secara hakiki terikat pada manusia lainnya; ia dilahirkan tidak untuk dirinya sendiri, melainkan untuk orang lain juga.
Menerapkan visi pendidikan yang demikian memang tidak mudah, terlebih ketika pendidikan ditempuh sekadar untuk mendapatkan gelar akademik dan dikejar supaya dapat membantu mendapatkan pekerjaan yang baik. Motif ekonomi pada peserta didik dalam mengejar pendidikan pada akhirnya hanya akan menyuburkan individualisme dalam masyarakat. Tantangannya di sini adalah menumbuhkan dalam diri individu rasa keterikatan dengan negara dan masyarakat supaya selalu ada keinginan untuk memperbaiki situasi negara.
Keempat, pendidikan hati. Hal ini terlihat dalam penekanannya pada retorika sebagai sebuah metode untuk menggerakkan hati orang dan mengarahkannya pada tindakan positif. Dalam dunia pendidikan, peserta didik lebih banyak diajak untuk meningkatkan keterampilan dan mengungkapkan diri dalam bahasa dan seni. Visi pendidikan yang memadai, selain memuat dimensi kognitif, tentunya harus juga mencakup dimensi afektif dan psikomotorik agar ada keseimbangan. Keputusan yang kita buat pada akhirnya haruslah didasarkan pada pertimbangan hati dan tidak sekadar pertimbangan murni rasional belaka.
Kelima, tekanan pada dimensi moral. Pendidikan secara hakiki menekankan cara-cara untuk hidup dengan baik (bene vivere). Oleh karena itu, pendidikan moral memegang peranan penting. Bersama dengan metode retorika, metode pendidikan ini dimaksudkan untuk mengembangkan kepribadian peserta didik dan supaya mereka akhirnya sungguh mencintai keutamaan (virtue) dan membenci kejahatan (vice).[2]
C. Tujuan Umum Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. maka pendidikan yang berkelanjutan akan mempunyai tujuan pendidikan.
Tujuan pendidikan sejati tidaklah hanya mengisi ruang-ruang imajinasi dan intelektual anak, mengasah kepekaan sosialnya, ataupun memperkenalkan mereka pada aspek kecerdasan emosi, tapi lebih kepada mempersiapkan mereka untuk mengenal Tuhan dan sesama untuk pencapaian yang lebih besar bagi kekekalan.
Tujuan pendidikan secara umum dapat dilihat sebagai berikut:
1. Tujuan pendidikan terdapat dalam UU No2 Tahun 1985 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia yang seutuhnya yaitu yang beriman dan dan bertakwa kepada tuhan yang maha esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan kerampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan berbangsa.
2. Tujuan Pendidikan nasional menurut TAP MPR NO II/MPR/1993 yaitu Meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja profesional serta sehat jasmani dan rohani. Pendidikan nasional juga harus menumbuhkan jiwa patriotik dan memepertebal rasa cinta tanah air, meningkatkan semangat kebangsaan dan kesetiakawaan sosial, serta kesadaran pada sejarah bangsa dan sikap menghargai jasa para pahlawan, serta berorientasi masa depan.
3. TAP MPR No 4/MPR/1975, tujuan pendidikan adalah membangun di bidang pendidikan didasarkan atas falsafah negara pancasila dan diarahkan untuk membentuk manusia-manusia pembangun yang berpancasila dan untuk membentuk manusia yang sehat jasmani dan rohaninya, memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dapat mengembangkan kreatifitas dan tanggung jawab dapat menyuburkan sikap demokratis dan penuh tenggang rasa, dapat mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti yang luhur, mencintai bangsanya dan mencintai sesama manusia sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam UUD 1945.[3]
BAB III
PEMBAHASAN
A. Review Pelaksanaan Pendidikan Di Aceh
Sebelum memprediksi keadaan dunia pendidikan di Aceh pada masa-masa yang akan datang, ada baiknya melakukan review dan penelaahan kembali terhadap praktek pendidikan yang berjalan selama ini. Dengan demikian orientasi pendidikan dapat dilakukan secara lebih objektif.
Menurut Dr. Zamroni, orientasi itu dapat dikaji berdasarkan empat dimensi yang ada, yaitu status anak didik, peran guru, materi pengajaran, dan manajemen pendidikan.
Selama ini orientasi pendidikan cenderung memperlakukan anak didik sebagai objek semata yang diberi tugas untuk menerima segala apa yang diberikan oleh gurunya. Peluang untuk tatap muka dalam suasana dialogis hampir-hampir tidak diberikan sama sekali. Proses belajar mengajar berlangsung dalam suasana monolog dan monoton sehingga cenderung menimbulkan kebosanan dan kekakuan.
Dalam sisi lain guru sering tampil sebagai indoktrinator yang dari hari ke hari menuangkan ilmunya tanpa berusaha mengembangkan potensi anak didiknya. Meskipun guru hanya seorang berhadapan dengan puluhan anak didik, namun suasana belajar kebanyakan didominasi oleh guru. Bila melihat suasana ruangan belajar yang tenang tanpa suara anaka didik, maka hal itu dianggap kesuksesan sang guru untuk meredam suara anak-anak.
Menyangkut dengan materi pelajaran yang dikembangkan selama ini. kelihatannya cenderung masih dalam bentuk yang tidak permanen. Karena kurikulum sering berubah-ubah ditambah lagi kurang terkaitnya dengan fenomena sosial yang dihadapi masyarakat. Artinya belum sejalan dengan Link and Match yang dikembangkan Mendikbud. Terbatasnya wawasan sang guru dalam memahami fenomena yang muncul ditengah masyarakat menyebabkan kurang tepat dan kurang pekanya mereka mengantisipasi berbagai problema yang dihadapi dunia pendidikan. Akhirnya bermuara pada tidak adanya relevansi pendidikan dengan keinginan masyarakat secara komprehensif.
Manajemen pendidikan yang berlaku didunia pendidikan kita saat ini kelihatannya masih bersifat sentralisasi yang cenderung menimbulkan suasana yang rigid dan kurang mengakomodasikan aspirasi yang berkembang dalam lapisan bawah atau masyarakat setempat. Segala bentuk kebijaksaan selalu bersumber dan menetes dari atas tidak memancar dari bawah. Akibat dari manajemen pendidikan semacam ini, timbullah berbagai kesenjangan, baik kesenjangan akademik, kesenjangan akupasional, maupun kesenjangan kultural.
Timbulnya kesenjangan akademik ditandai dengan aplikasi kurikulum yang kurang terkait dengan fenomena sosial yang dihadapi masyarakat. Kesenjangan akademik ini dipahami benar oleh pemerintah sehingga timbullah gagasan perlunya muatan local dalam penerapan kurikulum sekolah. Dengan demikian diharapkan anak didik tidak terlepas dari siklus masyarakat yang membesarkannya.
Adapun kesenjangan akupasional ialah adanya jurang yang menganga antara dunia pendidikan dan dunia kerja. Lulusan suatu lembaga pendidikan terasa belum cukup matang untuk diterjunkan kebursa kerja, karena kelangsungan pendidikan tidak disejajarkan dengan perkembangan dunia usaha dan lapangan kerja. Hal itulah yang menyebabkan lahirnya ide Link and Match yang bertumpu pada suatu harapan bahwa setiap lulusan lembaga pendidikan bisa terpakai dalam pergulatan bursa kerja atau dengan kata lain kebutuhan tenaga kerja tertentu dapat terisi oleh lembaga pendidikan tertentu pula.
Kesenjangan cultural ialah peserta didik tidak mapu beradaptasi dengan kehidupan bangsanya yang berjalan begitu cepat. Banyak para siswa yang belum memahami apa arti kehidupan institusi politik dalam Negara kita, apa esensi yang terkandung dalam pesta demokrasi lima tahun (pemilihan umum), apa makna kehadiran lembaga adat, institusi keagamaan, semangat kebangsaan, nilai perjuangan 45, dan lain-lain. Dengan kata lain, pemikiran para siswa tercabut daria kar budaya bangsa dan kurang memiliki ruh nasionalisme.[4]