Jumat, 24 Februari 2012

KTI: STRATEGI PENDIDIKAN ACEH DALAM MENGHADAPI ERA KOMPETITIF


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
            Pendidikan merupakan salah satu instrumen penting dalam meningkatkan kemajuan suatu negara atau daerah, sesuai dengan amanat UUD 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Jepang misalnya, pasca kekalahan Perang Dunia ke-2 yang meluluh lantakkan Hiroshima dan Nagasaki, Kaisar Jepang tidak menanyakan berapa jumlah panglima militer atau ekonom yang masih hidup. Akan tetapi, ia hanya menanyakan berapa jumlah pendidik/guru yang masih hidup? Jawabannya kemungkinan karena pendidikan merupakan modal utama untuk mendesain kembali Jepang di masa depan dan saat ini kita bisa melihat betapa majunya ”Negeri Sakura” tersebut.
            Begitu juga halnya dengan Aceh, pasca musibah tsunami banyak munculnya masalah yang berhubungan dengan pendidikan. Betapa tidak, sebagian anak-anak Aceh harus kehilangan pendidikan yang jelas sangat penting untuk menciptakan generasi masa depan yang lebih baik. Di samping itu, banyaknya pembangunan di bidang pendidikan yang harus di rehabilitasi kembali akibat dari musibah tersebut, karena pembangunan juga merupakan faktor penentu dalam proses pendidikan. Dalam kerangka ini pula, pihak pemerintah bersama pihak swasta serta semua lembaga yang terlibat di dalamnya harus memberikan perhatian yang sangat besar dalam membangun kembali sarana dan prasarana pendidikan di Aceh.
            Di era informasi dan komunikasi saat ini, generasi Aceh akan berada dibawah naungan dunia atau peradaban global. Peradaban global ini mau tidak mau akan membawa generasi Aceh kepada kompetisi. Di abad kompetisi akan berlaku hukum kompetitif. Intinya adalah terjadinya pertarungan keunggulan secara alami, dan siapa yang unggullah yang akan mencapai keberhasilan.
            Oleh karena itu, kualitas atau mutu pendidikan Aceh harus ditingkatkan dengan melakukan berbagai upaya dan strategi dalam bidang pendidikan, agar Aceh bisa mencetak generasi yang lebih unggul dimasa mendatang. Sistem pendidikan yang diterapkan tersebut juga harus mampu membawa generasi Aceh kearah yang lebih baik. Sehingga pendidikan generasi Aceh bisa lebih maju dan mampu bersaing di era kompetitif ini.
B.     Rumusan Masalah
            Dari latar belakang yang dikemukakan di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut.
1.      Bagaimanakah kualitas pendidikan Aceh dalam menghadapi era kompetitif?
2.      Apakah strategi yang diterapkan untuk membangun pendidikan Aceh kearah yang lebih baik?
C.    Hipotesis
1.      Sistem pendidikan Aceh pada zaman sekarang ini masih tergolong rendah dan belum sepenuhnya mampu bersaing dalam era kompetitif. Hal ini membutuhkan pembaharuan pendidikan kearah yang lebih baik.
2.      Perlu adanya tinjauan khusus dari pihak-pihak yang terlibat dalam masalah pendidikan, dengan menyempurnakan infra struktur dan supra struktur yang berkaitan dengan pengelolaan dan pembinaan pendidikan di daerah Aceh.
D.    Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.      Tujuan Penelitian
a.       Untuk mengetahui kualitas pendidikan di Aceh.
b.      Untuk mengetahui berbagai strategi dalam memberdayakan pendidikan Aceh di era kompetitif.
2.      Kegunaan Penelitian
a.       Hasil penelitian berguna untuk mengembangkan pengetahuan mengenai pendidikan di Aceh
b.      Untuk merumuskan konsep pemikiran baru yang dapat diterapkan dalam meningkatkan mutu pendidikan Aceh.

BAB II
DASAR-DASAR TEORITIS
A.    Pengertian Pendidikan
            Perkembangan dunia pendidikan seiring dengan perkembangannya zaman menyebabkan banyak pola pikir mengenai definisi atau pengertian pendidikan, mulai dari pola pikir yang awam menjadi lebih modern dan hal ini sangat mempengaruhi kemajuan pendidikan pada umumnya.
            Menurut Kamus Bahasa Indonesia (1991:232), Pendidikan berasal dari kata didik. Kata ini mendapat awalan kata me sehingga menjadi mendidik artinya memelihara dan memberi latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntutan dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Dalam bahasa Yunani, pendidikan berasal dari kata Pedagogi yaitu kata paid artinya anak sedangkan agogos yang artinya membimbing sehingga pedagogi dapat di artikan sebagai lmu dan seni mengajar anak.
            Dalam UU No.20 tahun 2003, disebutkan tentang sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
            Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran atau pelatihan agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya supaya memiliki kekuatan spiritual keagamaan, emosional, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, dan akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.[1]

B.     Visi dan Orientasi Pendidikan
            Visi merupakan pandangan jauh kedepan yang dapat diciptakan oleh supervisor dalam melihat kebutuhan-kebutuhan baik bagi pengembangan kelembagaan maupun pengembangan personal yang sekaligus menjadi pelaksana kelembagaan terkait. Sedangkan orientasi sendiri diartikan sebagai salah satu wacana yang ingin dikembangkan terkait dengan tindakan-tindakan nyata yang dilakukan oleh supervisor dalam rangka pengembangan diri. Adapun visi dan Orientasi pendidikan tersebut adalah:
            pertama, orientasi untuk mencari kebenaran. Keinginan untuk mendapatkan kebenaran, baik yang bersifat filosofis, saintifik, maupun religius, Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa mencari kebenaran adalah tugas utama dan layak (proper) bagi seorang manusia. Di antara makhluk yang ada, hanya manusialah yang memiliki akal budi, yang memungkinkannya untuk berpikir, mendapatkan pengetahuan, dan menemukan kebenaran. Pendidikan merupakan sarana bagi manusia untuk mewariskan kebenaran yang sudah ditemukan dalam sejarah manusia kepada generasi berikutnya.
            Kedua, kemandirian dan profesionalitas. Dalam program pendidikan peserta didik diajar untuk menafsirkan dan memberi komentar. Yang ditekankan di sini, seperti pada seorang master adalah kemandirian dan profesionalitas dalam mengungkapkan pandangan pribadi.
            Ketiga, pengabdian kepada publik. Pendidikan pada akhirnya harus mengarahkan peserta didik pada pengabdian kepada masyarakat banyak. Alasannya adalah setiap manusia adalah makhluk sosial, yang secara hakiki terikat pada manusia lainnya; ia dilahirkan tidak untuk dirinya sendiri, melainkan untuk orang lain juga.
            Menerapkan visi pendidikan yang demikian memang tidak mudah, terlebih ketika pendidikan ditempuh sekadar untuk mendapatkan gelar akademik dan dikejar supaya dapat membantu mendapatkan pekerjaan yang baik. Motif ekonomi pada peserta didik dalam mengejar pendidikan pada akhirnya hanya akan menyuburkan individualisme dalam masyarakat. Tantangannya di sini adalah menumbuhkan dalam diri individu rasa keterikatan dengan negara dan masyarakat supaya selalu ada keinginan untuk memperbaiki situasi negara.
            Keempat, pendidikan hati. Hal ini terlihat dalam penekanannya pada retorika sebagai sebuah metode untuk menggerakkan hati orang dan mengarahkannya pada tindakan positif. Dalam dunia pendidikan, peserta didik lebih banyak diajak untuk meningkatkan keterampilan dan mengungkapkan diri dalam bahasa dan seni. Visi pendidikan yang memadai, selain memuat dimensi kognitif, tentunya harus juga mencakup dimensi afektif dan psikomotorik agar ada keseimbangan. Keputusan yang kita buat pada akhirnya haruslah didasarkan pada pertimbangan hati dan tidak sekadar pertimbangan murni rasional belaka.
            Kelima, tekanan pada dimensi moral. Pendidikan secara hakiki menekankan cara-cara untuk hidup dengan baik (bene vivere). Oleh karena itu, pendidikan moral memegang peranan penting. Bersama dengan metode retorika, metode pendidikan ini dimaksudkan untuk mengembangkan kepribadian peserta didik dan supaya mereka akhirnya sungguh mencintai keutamaan (virtue) dan membenci kejahatan (vice).[2]

C.    Tujuan Umum Pendidikan
            Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. maka pendidikan yang berkelanjutan akan mempunyai tujuan pendidikan.
            Tujuan pendidikan sejati tidaklah hanya mengisi ruang-ruang imajinasi dan intelektual anak, mengasah kepekaan sosialnya, ataupun memperkenalkan mereka pada aspek kecerdasan emosi, tapi lebih kepada mempersiapkan mereka untuk mengenal Tuhan dan sesama untuk pencapaian yang lebih besar bagi kekekalan.

            Tujuan pendidikan secara umum dapat dilihat sebagai berikut:
1.      Tujuan pendidikan terdapat dalam UU No2 Tahun 1985 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia yang seutuhnya yaitu yang beriman dan dan bertakwa kepada tuhan yang maha esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan kerampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan berbangsa.
2.      Tujuan Pendidikan nasional menurut TAP MPR NO II/MPR/1993 yaitu  Meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja profesional serta sehat jasmani dan rohani. Pendidikan nasional juga harus menumbuhkan jiwa patriotik dan memepertebal rasa cinta tanah air, meningkatkan semangat kebangsaan dan kesetiakawaan sosial, serta kesadaran pada sejarah bangsa dan sikap menghargai jasa para pahlawan, serta berorientasi masa depan.
3.      TAP MPR No 4/MPR/1975, tujuan pendidikan adalah membangun di bidang pendidikan didasarkan atas falsafah negara pancasila dan diarahkan untuk membentuk manusia-manusia pembangun yang berpancasila dan untuk membentuk manusia yang sehat jasmani dan rohaninya, memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dapat mengembangkan kreatifitas dan tanggung jawab dapat menyuburkan sikap demokratis dan penuh tenggang rasa, dapat mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti yang luhur, mencintai bangsanya dan mencintai sesama manusia sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam UUD 1945.[3]


BAB III
PEMBAHASAN
A.    Review Pelaksanaan Pendidikan Di Aceh
            Sebelum memprediksi keadaan dunia pendidikan di Aceh pada masa-masa yang akan datang, ada baiknya melakukan review dan penelaahan kembali terhadap praktek pendidikan yang berjalan selama ini. Dengan demikian orientasi pendidikan dapat dilakukan secara lebih objektif.
            Menurut Dr. Zamroni, orientasi itu dapat dikaji berdasarkan empat dimensi yang ada, yaitu status anak didik, peran guru, materi pengajaran, dan manajemen pendidikan.
            Selama ini orientasi pendidikan cenderung memperlakukan anak didik sebagai objek semata yang diberi tugas untuk menerima segala apa yang diberikan oleh gurunya. Peluang untuk tatap muka dalam suasana dialogis hampir-hampir tidak diberikan sama sekali. Proses belajar mengajar berlangsung dalam suasana monolog dan monoton sehingga cenderung menimbulkan kebosanan dan kekakuan.
            Dalam sisi lain guru sering tampil sebagai indoktrinator yang dari hari ke hari menuangkan ilmunya tanpa berusaha mengembangkan potensi anak didiknya. Meskipun guru hanya seorang berhadapan dengan puluhan anak didik, namun suasana belajar kebanyakan didominasi oleh guru. Bila melihat suasana ruangan belajar yang tenang tanpa suara anaka didik, maka hal itu dianggap kesuksesan sang guru untuk meredam suara anak-anak.
            Menyangkut dengan materi pelajaran yang dikembangkan selama ini. kelihatannya cenderung masih dalam bentuk yang tidak permanen. Karena kurikulum sering berubah-ubah ditambah lagi kurang terkaitnya dengan fenomena sosial yang dihadapi masyarakat. Artinya belum sejalan dengan Link and Match yang dikembangkan Mendikbud. Terbatasnya wawasan sang guru dalam memahami fenomena yang muncul ditengah masyarakat menyebabkan kurang tepat dan kurang pekanya mereka mengantisipasi berbagai problema yang dihadapi dunia pendidikan. Akhirnya bermuara pada tidak adanya relevansi pendidikan dengan keinginan masyarakat secara komprehensif.
            Manajemen pendidikan yang berlaku didunia pendidikan kita saat ini kelihatannya masih bersifat sentralisasi yang cenderung menimbulkan suasana yang rigid dan kurang mengakomodasikan aspirasi yang berkembang dalam lapisan bawah atau masyarakat setempat. Segala bentuk kebijaksaan selalu bersumber dan menetes dari atas tidak memancar dari bawah. Akibat dari manajemen pendidikan semacam ini, timbullah berbagai kesenjangan, baik kesenjangan akademik, kesenjangan akupasional, maupun kesenjangan kultural.
            Timbulnya kesenjangan akademik ditandai dengan aplikasi kurikulum yang kurang terkait dengan fenomena sosial yang dihadapi masyarakat. Kesenjangan akademik ini dipahami benar oleh pemerintah sehingga timbullah gagasan perlunya muatan local dalam penerapan kurikulum sekolah. Dengan demikian diharapkan anak didik tidak terlepas dari siklus masyarakat yang membesarkannya.
            Adapun kesenjangan akupasional ialah adanya jurang yang menganga antara dunia pendidikan dan dunia kerja. Lulusan suatu lembaga pendidikan terasa belum cukup matang untuk diterjunkan kebursa kerja, karena kelangsungan pendidikan tidak disejajarkan dengan perkembangan dunia usaha dan lapangan kerja. Hal itulah yang menyebabkan lahirnya ide Link and Match yang bertumpu pada suatu harapan bahwa setiap lulusan lembaga pendidikan bisa terpakai dalam pergulatan bursa kerja atau dengan kata lain kebutuhan tenaga kerja tertentu dapat terisi oleh lembaga pendidikan tertentu pula.
            Kesenjangan cultural ialah peserta didik tidak mapu beradaptasi dengan kehidupan bangsanya yang berjalan begitu cepat. Banyak para siswa yang belum memahami apa arti kehidupan institusi politik dalam Negara kita, apa esensi yang terkandung dalam pesta demokrasi lima tahun (pemilihan umum), apa makna kehadiran lembaga adat, institusi keagamaan, semangat kebangsaan, nilai perjuangan 45, dan lain-lain. Dengan kata lain, pemikiran para siswa tercabut daria kar budaya bangsa dan kurang memiliki ruh nasionalisme.[4]

Rabu, 22 Februari 2012

ILMU KALAM: ALIRAN KHAWARIJ


BAB I
PENDAHULUAN
Bila kita mengenal Syiah sebagai pecinta Ali bin Ali Thalib dan keluarganya dengan berlebih-lebihan, maka adalah suatu sekte yang kebalikannya. Ia adalah Khawarij. Yakni mereka yang membenci Ali dengan berlebih-lebihan, mengkafirkannya hingga menghalalkan darahnya. Kaum Khawarij pada asalnya adalah pengikut setia Ali, tetapi kemudian mereka menyatakan keluar dari barisan Ali. Kemunculan Khawarij secara terbuka terjadi menyusul peristiwa tahkim (abitrase) antara Ali dan Muawiyah. Bibit pemikiran Khawarij sebetulnya sudah mulai muncul ketika mereka ikut berperang dalam barisan Ali melawan pasukan Aisyah dalam perang Jamal. Dalam perang itu Ali mengintruksikan pada pasukannya agar jangan membunuh musuh yang terluka, jangan menganiaya yang tak bedaya, jangan mengejar yang lari, jangan merampas harta benda lawan selain yang dipakai di medan perang, dan dilarang menawan anak-anak dan kaum wanita. Saat itu sebagian dari pasukan Ali memprotes, “bagaimana anda menghalalkan darah mereka tatapi mengharamkan harta bendanya?”.Ali menjawab, “Apakah kalian sudi jika salah seorang diantara kalian menawan dan memperbudak ibunya sendiri, yaitu Aisyah”
 Kekecewaan mereka memuncak di perang Shiffin. Saat itu mereka sudah mendesak pasukan Muawiyah. Tetapi Muawiyah mengajak damai dengan hukum al Quran, dan Ali menyambut itu. Ketika naskah kesepakatan ditandatangani pihak Ali dan Muawiyah, lalu kedua pasukan itu meninggalkan Shiffin. Di perjalanan menuju Kuffah, sekitar 12.000 orang dari pasukan ‘Ali memisahkan diri dari rombongan dan membuat markas militer tersendiri di Harura. Mereka mengecam ‘Ali dan menuduhnya telah berbuat kufur serta syirik karena menyerahkan ketetapan hukum pada manusia.
BAB II
PEMBAHASAN
  1. Latar Belakang Kemunculan
Secara etimologis kata khawarij berasal dari bahasa arab, yaitu kharaja yang  berarti keluar, muncul, timbul, atau memberontak. Ini yang mendasari bahwa khawarij disebut sebagai orang yang memberontak iman yang sah. Berdasarkan pengertian etimologi pula, khawarij berarti setiap muslim yang ingin keluar dari kesatuan umat islam.[1]
Adapun yang dimaksud khawarij dalam terminologi ilmu kalam adalah suatu sekte/kelompok/aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima Arbitrase (tahkim), dalam perang shiffin pada tahun 37 H/648 M, dengan kelompok Bughat (pemberontak) Muawiyah bin Abi Sufyan perihal persengketaan khilafah.[2]
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat:
  1. Asy Syahrastani berkata: “ Setiap orang yang memberontak kepada imam yang telah disepakati kaum muslimin disebut khawarij. Sama saja, apakah dia memberontak di masa shahabat kepada al Khulafa ar Rasyidun atau setelah mereka dimasa tabi’in dan para imam di setiap zaman”
  2. Imam al Asy'ary berkata: "Faktor yang menyebabkan mereka disebut khawarij adalah keluarnya mereka dari kekhilafahan Ali bin Abi Thalib"
Imam Abu Hazm menambahkan bahwa istilah Khawarij itu dinisbatkan juga kepada semua kelompok atau hukum yang dahulu keluar dari 'Ali bin Abi Thalib atau yang mengikuti paham mereka, kapan pun itu terjadi.
  1. Al Imam Al Barbahari berkata di dalam Syarhu as-Sunnah: ”setiap orang yang memberontak kepada imam(pemerintah) kaum muslimin adalah khawarij, dan berarti dia telah memecah belah kaum muslimin dan menentang sunnah, serta matinya seperti mati jahiliyyah”.
Khawarij pertama kali muncul pada pertengahan abad ke-7, terpusat di daerah yang kini ada di Irak selatan, dan merupakan bentuk yang berbeda dari Sunni dan Syi'ah. Gerakan Khawarij berakar sejak Khalifah Utsman bin Affan dibunuh, dan kaum Muslimin kemudian mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Ketika itu, kaum Muslimin mengalami kekosongan kepemimpinan selama beberapa hari. Kabar kematian 'Ustman kemudian terdengar oleh Mu'awiyyah bin Abu Sufyan. Mu’awiyyah yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan 'Ustman bin Affan, merasa berhak menuntut balas atas kematian 'Ustman.
Mendengar berita ini, orang-orang Khawarij pun ketakutan, kemudian menyusup ke pasukan Ali bin Abi Thalib. Mu'awiyyah berpendapat bahwa semua orang yang terlibat dalam pembunuhan 'Ustman harus dibunuh, sedangkan Ali berpendapat yang dibunuh hanya yang membunuh 'Ustman saja, karena tidak semua yang terlibat pembunuhan diketahui identitasnya.
Akhirnya meletuslah Perang Siffin karena perbedaan dua pendapat tersebut. Kelompok khawarij pada mulanya memandang Ali dan pasukannya berada dipihak yang benar karena Ali merupakan khalifah sah yang telah di bai’at mayoritas umat islam, sementara Muawiyah berada dipihak yang salah karena memberontak khalifah yang sah. Lagi pula berdasarkan estimasi khawarij, pihak Ali hampir memperoleh kemenangan pada peperangan itu, tetapi karena Ali menerima tipu daya licik ajakan damai Muawiyah, kemenangan yang hampir diraih itu menjadi aib.
Ali sebenarnya telah mencium kelicikan dibalik ajakan damai kelompok Muawiyah sehingga ia bermaksud untuk menolak permintaan itu. Namun, karena desakan sebagian pengikutnya, terutama ahli qurra seperti Al-Asy’ats bin Qais, Mas’ud bin Fudaki At-Tamimi, dan Zaid bin Husein Ath-Tha’i, dengan sangat terpaksa Ali memerintahkan Al-Asytar (komandan pasukannya) untuk menghentikan peperangan.[3]
Setelah menerima ajakan damai, Ali bermaksud mengirimkan Abdullah bin Abbas sebagai delegasi juru damainya, tetapi orang-orang khawarij menolaknya. Mereka beralasan bahwa Abdullah bin Abbas berasal dari kelompok Ali sendiri. Kemudian mereka mengusulkan agar Ali mengirimkan Abu Musa Al-Asy’ari dengan harapan dapat memutuskan perkara berdasarkan kitab Allah. Keputusan tahkim, yakni Ali diturunkan dari jabatannya sebagai khalifah oleh utusannya, dan menganggkat Muawiyah menjadi khalifah pengganti Ali sangat mengecewakan orang-orang khawarij. Mereka membelot dengan mengatakan, “mengapa kalian berhukum kepada manusia. Tidak ada hukum selain hukum yang ada disisi Allah.” Imam Ali menjawab, ”itu adalah ungkapan yang benar, tetapi mereka artikan dengan keliru”. Pada saat itu juga orang-orang khawarij keluar dari pasukan Ali dan langsung menuju Hurura. Itulah sebabnya khawarij disebut juga dengan nama Hururiah. Kadang-kadang mereka disebut juga syurah dan Al-Mariqah.
Dengan arahan Abdullah Al-Kiwa, mereka sampai di Harura. Di Harura, kelompok khawarij melanjutkan perlawanan kepada Muawiyah dan juga kepada Ali. Mereka mengangkat seorang pemimpin yang bernama Abdullah bin Shahab Ar-Rasyibi. Dalam mengajak umat mengikuti garis pemikiran mereka, kaum Khawarij sering menggunakan kekerasan dan pertumpahan darah.

  1. Khawarij dan Doktrin-doktrin Pokoknya
Diantara doktrin-doktrin pokok khawarij adalah sebagai berikut :
1.      Khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat islam.
2.      Khalifah tidak harus berasal dari keturunan arab. Dengan demikian setiap orang muslim berhak menjadi khalifah apabila telah memenuhi syarat.
3.      Khalifah dipilih secara permanen selama yang bersangkutan bersifat adil dan menjalankan syari’at islam. Ia harus dijatuhkan bahkan dibunuh kalau melakukan kezaliman.
4.      Khalifah sebelum Ali (Abu bakar, Umar, dan Utsman) adalah sah, tetapi setelah tahun ke-tujuh dari masa kekhalifahannya, ustman dianggap telah menyeleweng.
5.      Muawiyah dan Amr bin Ash serta Abu Musa Al-Asy’ari juga dianggap menyeleweng dan telah menjadi kafir.
6.      Pasukan perang jamal yang melawan Ali juga kafir.
7.      Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim sehingga harus dibunuh. Yang sangat anarkis (kacau) lagi, mereka menganggap bahwa seorang muslim dapat menjadi kafir apabila ia tidak mau membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir dengan risiko ia menanggung beban harus dilenyapkan pula.
8.      Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka. Bila tidak mau bergabung, ia wajib diperangi karena hidup dalam dar al-harb (Negara musuh).
9.      Seseorang harus menghindar dari pimpinan yang menyeleweng.
10.  Adanya wa’ad dan wa’id (orang yang baik harus masuk surga, sedangkan orang yang jahat harus masuk kedalam neraka).
11.  Amar ma’ruf nahi munkar
12.  Memalingkan ayat-ayat Al-Qur’an yang tampak mutasyabihat (samar).
13.  Qur’an adalah makhluk.
14.  Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan.
Bila dianalisis secara mendalam, doktrin yang dikembangkan kaum khawarij dapat dikategorikan dalam tiga kategori : politik, teologi, dan sosial. Dari poin 1 sampai poin 7 dikategorikan sebagai doktrin politik sebab membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan masalah kenegaraan, khususnya tentang kepala Negara (khilafah).
Khawarij dapat dikatakan sebagai sebuah partai politik. Politik juga ternyata merupakan doktrin sentral khawarij yang timbul sebagai reaksi terhadap keberadaan Muawiyah yang secara teoritis tidak pantas memimpin Negara, karena ia seorang tulaqa. Kebencian ini bertambah dengan kenyataan bahwa keislaman Muawiyah belum lama.
Mereka menolak untuk dipimpin orang yang dianggap tidak pantas. Jalan pintas yang ditempuhnya adalah membunuhnya,termasuk orang yang mengusahakannya menjadi khalifah. Dikumandangkan sikap bergerilya untuk membunuh mereka. Dibuat pulalah doktrin teologi tentang dosa besar sebagaimana tertera pada poin 8 dan 11. Akibat doktrinnya yang menentang pemerintah, khawarij harus menanggung akibatnya. Mereka selalu di kejar-kejar dan ditumpas oleh pemerintah. Kemudian perkembangannya, kelompok ini sebagian besar telah musnah. Sisanya terdapat di Zanzibar, Afrika Utara, dan Arabia Selatan.
Adapun doktrin selanjutnya yakni dari poin 10 sampai 15, dapat dikategorikan sebagai doktrin teologis sosial. Doktrin ini memperlihatkan kesalehan asli kelompok khawarij sehingga sebagian pengamat menganggap doktrin ini lebih mirip dengan doktrin mu’tazilah, meskipun kebenaran adanya doktrin ini dalam wacana kelompok khawarij patut dikaji lebih mendalam.[4]

  1. Perkembangan Khawarij
Khawarij terbagi menjadi delapan besar firqah, dan dari delapan firqah besar tersebut masih terbagi lagi dalam firqah-firqah kecil yang jumlahnya sangat banyak. Pepercahan inilah yang membuat Khawarij menjadi lemah dan mudah sekali dipatahkan dalam berbagai pertempuran menghadapi kekuatan militer Bani Umayyah. Khawarij menganggap perlu pembentukan Republik Demokrasi Arab, mereka menganggap pemerintahan Bani Umayyah sama seperti pemerintahan kaum Aristokrat Barat.
Sekalipun Khawarij telah beberapa kali memerangi Ali dan melepaskan diri dari kelompok Ali, dari mulut mereka masih terdengar kata-kata haq. Iman Al Mushannif misalnya, pada akhir hayatnya mengatakan,”Janganlah kalian memerangi Khawarij sesudah aku mati. Tidaklah sama orang yang mencari kebenaran kemudian dia salah, dengan mencari kebathilan lalu ia dapatkan. Amirul mukminin mengatakan, bahwa Khawarij lebih mulia daripada Bani Umayyah dalam tujuannya, karena Bani Umayyah telah merampas khalifah tanpa hak, kemudian mereka menjadikannya hak warisan. Hal ini merupakan prinsip yang bertentangan dengan Islam secara nash dan jiwanya. Adapun Khawarij adalah sekelompok manusia yang membela kebenaran aqidah agama, mengimaninya dengan sungguh-sungguh, sekalipun salah dalam menempuh jalan yang dirintisnya”.
Khalifah yang adil Umar bin Abdul Azis, menguatkan pendapat khalifah keempat yakni Ali, dalam menilai Khawarij dan berbaik sangka kepada mereka, “Aku telah memahami bahwa kalian tidak menyimpang dari jalan hanya untuk keduniaan, namun yang kalian cari adalah kebahagian di akhirat, hanya saja kalian menempuh jalan yang salah”.

HUKUM ADAT: KEDUDUKAN DAN PERANAN HUKUM ADAT


KEDUDUKAN DAN PERANAN HUKUM ADAT
Hukum adat merupakan nilai-nilai yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat suatu daerah. Walaupun sebagian besar Hukum Adat tidak tertulis, namun ia mempunyai daya ikat yang kuat dalam masyarakat. Ada sanksi tersendiri dari masyarakat jika melanggar aturan hukum adat. Hukum Adat yang hidup dalam masyarakat ini bagi masyarakat yang masih kental budaya aslinya akan sangat terasa. Penerapan hukum adat dalam kehidupan sehari-hari juga sering diterapkan oleh masyarakat. Bahkan seorang hakim, jika ia menghadapi sebuah perkara dan ia tidak dapat menemukannya dalam hukum tertulis, ia harus dapat menemukan hukumnya dalam aturan yang hidup dalam masyarakat. Artinya hakim juga harus mengerti perihal Hukum Adat. Hukum Adat dapat dikatakan sebagai hukum perdata-nya masyarakat Indonesia.
Adapun kedudukan dan peranan hukum adat adalah sebagai berikut:
1.      Hukum adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi Pembangunan Hukum Nasional, yang menuju Kepada Unifikasi pembuatan peraturan perundangan dengan tidak mengabaikan timbul/tumbuhnya dan berkembangnya hukum kebiasaan dan pengadilan dalam pembinaan hukum.
2.      Pengambilan bahan-bahan dari hukum adat dalam penyusunan Hukum Nasional pada dasarnya berarti:
Ø  Penggunaan konsepsi-konsepsi dan azas-azas hukum dari hukum adat untuk dirumuskan dalam norma-norma hukum yang memenuhi kebutuhan masyarakat masa kini dan mendatang dalam rangka membangun masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar.
Ø  Penggunaan lembaga-lembaga hukum adat yang dimodernisir dan disesuaikan dengan kebutuhan zaman tanpa menghilangkan ciri dan sifat-sifat kepribadian Indonesianya.
Ø  Memasukkan konsep-konsep dan azas-azas hukum adat ke dalam lembaga-lembaga hukum dari hukum asing yang dipergunakan untuk memperkaya dan memperkembangkan Hukum Nasional, agar tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
3.      Di dalam pembinaan hukum harta kekayaan nasional, hukum adat merupakan salah satu unsur sedangkan di dalam pembinaan hukum kekeluargaan dan hukum kewarisan nasional merupakan intinya.
4.      Dengan terbentuknya hukum nasional yang mengandung unsur-unsur hukum adat, maka kedudukan dan peranan hukum adat itu telah terserap di dalam hukum nasional.
A.    Kedudukan Hukum Adat dalam Perpektif UUD 1945
Konstitusi kita sebelum amandemen tidak secara tegas menunjukkan kepada kita pengakuan dan pemakaian istilah hukum adat. Namun bila ditelaah, maka dapat disimpulkan ada sesungguhnya rumusan-rumusan yang ada di dalamnya mengandung nilai luhur dan jiwa hukum adat. Pembukaan UUD 1945, yang memuat pandangan hidup Pancasila, hal ini mencerminkan kepribadian bangsa, yang hidup dalam nilai-nilai, pola pikir dan hukum adat. Pasal 29 ayat (1) Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Pasal 33 ayat (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan.
Namun setelah amandemen konstitusi, hukum adat diakui sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat (2) yang menyatakan : Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Dalam memberikan tafsiran terhadap ketentuan tersebut Jimly Ashiddiqie menyatakan perlu diperhatikan bahwa pengakuan ini diberikan oleh Negara :
1.      Kepada eksistensi suatu masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional yang dimilikinya;
2.     Eksistensi yang diakui adalah eksistensi kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat. Artinya pengakuan diberikan kepada satu persatu dari kesatuan-kesatuan tersebut dan karenanya masyarakat hukum adat itu haruslah bersifat tertentu;
3.     Masyarakat hukum adat itu memang hidup (Masih hidup);
4.     Dalam lingkungannya (lebensraum) yang tertentu pula;
5.     Pengakuan dan penghormatan itu diberikan tanpa mengabaikan ukuran-ukuran kelayakan bagi kemanusiaan sesuai dengan tingkat perkembangan keberadaan bangsa. Misalnya tradisi-tradisi tertentu yang memang tidak layak lagi dipertahankan tidak boleh dibiarkan tidak mengikuti arus kemajuan peradaban hanya karena alasan sentimentil;
6.     Pengakuan dan penghormatan itu tidak boleh mengurangi makna Indonesia sebagai suatu negara yang berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Ashiddiqie, 2003 : 32-33)
Memahami rumusan Pasal 18B UUD 1945 tersebut maka:
1.      Konstitusi menjamin kesatuan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya ;
2.      Jaminan konstitusi sepanjang hukum adat itu masih hidup;
3.      Sesuai dengan perkembangan masyarakat; dan
4.      Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
5.      Diatur dalam undang-undang
Dengan demikian konsitusi ini, memberikan jaminan pengakuan dan penghormatan hukum adat bila memenuhi syarat:
1)      Syarat Realitas, yaitu hukum adat masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat;
2)      Syarat Idealitas, yaitu sesuai dengan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, dan keberlakuan diatur dalam undang-undang;
Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
B.     Kedudukan Hukum Adat dalam Putusan Hakim
1.      Hendaklah hukum adat kekeluargaan dan kewarisan lebih diperkembangkan ke arah hukum yang bersifat bilateral/parental yang memberikan kedudukan yang sederajat antara pria dan wanita.
2.      Dalam rangka pembinaan Hukum Perdata Nasional hendaknya diadakan publikasi jurisprudensi yang teratur dan tersebar luas.
3.      Dalam hal terdapat pertentangan antara undang-undang dengan hukum adat hendaknya hakim memutus berdasarkan undang-undang dengan bijaksana.
4.      Demi terbinanya Hukum Perdata Nasional yang sesuai dengan politik hukum negara kita, diperlukan hakim-hakim yang berorientasi pada pembinaan hukum.
5.      Perdamaian dan kedamaian adalah tujuan tiap masyarakat karena itu tiap sengketa Hukum hendaklah diusahakan didamaikan.
Dalam kesimpukan-kesimpulan seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional di Yogyakarta tahun 1975 di atas telah dijelaskan secara rinci dimanakah sebenarnya kedudukan hukum adat dalam tata hukum nasional di Indonesia. Hasil seminar diatas diharapkan dapat menjadi acuan dalam pengembangan hukum adat selanjutnya mengingat kedudukan hukum adat dalam tata hukum nasional di Indonesia sangat penting dan mempunyai peranan baik dalam sistem hukum nasional di Indonesia, dalam perundang-undangan, maupun dalam putusan hakim.

HUKUM PERDATA: HUKUM WARIS


BAB I
PENDAHULUAN
Hukum waris merupakan suatu hal yang penting dan mendapat perhatian yang besar. Karena pembagian warisan sering menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan bagi keluarga yang di tinggal mati pewarisnya. Hubungan persaudaraan bisa berantakan jika masalah pembagian harta warisan seperti rumah atau tanah tidak dilakukan dengan adil. Untuk menghindari masalah, sebaiknya pembagian warisan diselesaikan dengan adil. Salah satu caranya adalah menggunakan Hukum Waris menurut Undang-Undang (KUH Perdata).
Banyak permasalahan yang terjadi seputar perebutan warisan, seperti masing-masing ahli waris merasa tidak menerima harta waris dengan adil atau ada ketidaksepakatan antara masing-masing ahli waris tentang hukum yang akan mereka gunakan dalam membagi harta warisan. Naluriah manusia yang menyukai harta benda (QS. Ali Imran:14) tidak jarang memotivasi seseorang untuk menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan harta benda tersebut, termasuk didalamnya terhadap harta peninggalan pewarisnya sendiri. Kenyataan demikian telah ada dalam sejarah umat manusia hingga sekarang ini. Terjadinya kasus-kasus gugat waris di pengadilan, baik Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri menunjukkan fenomena ini.
Oleh karenanya, dalam pembagian warisan harus di lihat terlebih dahulu hukum yang mana yang akan di gunakan oleh para ahli waris dalam menyelesaikan sengketa waris yang terjadi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hukum Waris
Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya. Dalam terminologi fiqh biasanya dikemukakan pengertian kebahasaan. Hal ini karena kata-kata warasa, asal kata kewarisan yang berarti mengganti, memberi, dan mewarisi. Sedangkan pengertian terminologi, hukum waris adalah hukum yang mengatur pembagian warisan, mengetahui bagian-bagian yang diterima dari harta peninggalan itu untuk setiap yang berhak.[1]
Dalam hukum waris berlaku suatu asas, bahwa hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan. Apabila seseorang meninggal dunia, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih pada sekalian ahliwarisnya. Asas tersebut tercantum dalam suatu pepatah perancis yang berbunyi: “le mort saisit le vit”. Sedangkan pengoperan segala hak dan kewajiban dari si meninggal oleh para ahliwaris itu dinamakan “saisine”.[2]
           Beberapa pengecualian, seperti hak seorang bapak untuk menyangkal sahnya seorang anak dan hak seorang anak untuk menuntut supaya dinyatakan sebagai anak sah dari bapak atau ibunya (kedua hak itu adalah dalam lapangan hukum kekeluargaan), dinyatakan oleh undang-undang di warisi oleh ahli warisnya.
           Pasal 830 menyebutkan, “pewarisan hanya berlangsung karena kematian”.
Jadi, harta peninggalan baru terbuka jika si pewaris telah meninggal dunia saat ahli waris masih hidup ketika harta warisan terbuka. Dalam hal ini, ada ketentuan khusus dalam pasal 2 KUHPdt, yaitu anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap telah dilahirkan bila kepentingan si anak menghendakinya. Meninggal sewaktu dilahirkan dianggap ia tidak pernah ada.[3]
           Jelasnya, seorang anak yang lahir saat ayahnya telah meninggal, berhaka mendapat warisan. Hal ini diatur dalam pasal 836, “dengan mengingat akan ketentuan dalam pasal 2 Kitab ini, supaya dapat bertindak sebagai waris, seorang harus telah ada pada saat warisn jatuh meluang”.
           Dalam undang-undang terdapat dua cara untuk mendapat suatu warisan, yaitu:
1.      Secara ab intestato (ahli waris menurut undang-undang) dalam pasal 832
Menurut ketentuan undang-ungdang ini, yang berhak menerima warisan adalah para keluarga sedarah, baik sah maupun diluar kawin dan suami / istri yang hidup terlama.
Keluarga sedarah yang menjadi ahli waris ini dibagi dalam empat golongan yang masing-masing merupakan ahli waris golongan pertama, kedua, ketiga, dan golongan keempat.
2.      Secara testamentair (ahli waris karena ditunjuk dalam surat wasiat = testamen) dalam pasal 899.
Dalam hal ini pemilik kekayaan membuat wasiat untuk para ahli warisnya yang ditunjuk dalam surat wasiat/testamen.[4]
B.     Golongan Ahli Waris
Terdapat  empat Golongan ahli waris yaitu sebagai berikut :
1.      Golongan I
Golongan I adalah suami atau istri yang hidup terlama serta anak-anak dan keturunannya. Jadi dalam pewarisan tidak membedakan laki-laki atau perempuan dan dengan tidak membedakan urutan kelahiran.
2.      Golongan II
Ahli waris golongan II adalah orang tua (ayah dan ibu) dan saudara-saudara serta keturunan saudara-saudaranya.
3.      Golongan III
Ahli waris golongan III adalah keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu, seperti kakek dan nenek, baik dari pihak bapak maupun ibu.
4.      Golongan IV
Ahli waris golongan IV adalah keluarga garis ke samping sampai derajat ke enam, seperti paman dan bibi dan lainnya.
Ada beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan sehubungan dengan penggolongan ahli waris diantaranya:
a.       Jika tidak ada ke empat golongan tersebut, maka harta peninggalan jatuh pada Negara.
b.      Golongan yang terdahulu menutup golongan yang kemudian. Jadi jika ada ahli waris golongan I, maka ahli waris golongan II, III dan IV tidak menjadi ahli waris.
c.       Jika golongan I tidak ada, golongan II yang mewaris. Golongan III dan IV tidak mewaris. Akan tetapi, golongan III dan IV adalah mungkin mewaris bersama-sama kalau mereka berlainan garis.
d.      Dalam golongan I termasuk anak-anak sah maupun luar kawin yang diakui sah dengan tidak membedakan laki-laki/perempuan dan perbedaan umur.
e.       Apabila si meninggal tidak meninggalkan keturunan maupun suami atau istri, atau juga saudara-saudara, maka dengan tidak mengurangi ketentuan dalam pasal 859, warisan harus dibagi dalam dua bagian yang sama pembagian itu berupa satu bagian untuk sekalian keluarga sedarah dalam garis sibapak lurus ke atas dan satu bagian lagi untuk sekalian keluarga yang sama dalam garis ibu.[5]

C.    Bagian Masing-masing Ahli Waris
Di atas telah dikemukakan bahwa BW mengenal empat golongan ahli waris yang bergiliran berhak atas harta peninggalan. Artinya, apabila golongan pertama masih ada, maka golongan kedua dan seterusnya tidak berhak atas harta peninggalan, demikian pula jika golongan pertama tidak ada sama sekali, yang berhak hanya golongan kedua, sedangkan golongan ketiga dan keempat tidak berhak. Bagian masing-masing ahli waris menurut BW adalah sebagai berikut:
a.       Bagian golongan I yang meliputi anggota keluarga dalam garis lurus ke bawah, yaitu anak-anak beserta keturunan mereka, dan janda atau duda yang hidup paling lama, masing-masing memperoleh satu bagian yang sama. Jadi bila terdapat empat orang anak dan janda, mereka masing-masing mendapat 1/5 bagian. Apabila salah seorang anak telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris akan tetapi mempunyai empat orang anak, yaitu cucu pewaris, maka bagian anak yang 1/5 dibagi di antara anak-anak yang menggantikan kedudukan ayahnya yang telah meninggal itu (plaatsvervulling), sehingga masing-masing cucu memperoleh 1/20 bagian. Jadi hakikat bagian dari golongan pertama ini, jika pewaris hanya meninggalkan seorang anak dan dua orang cucu, maka cucu tidak memperoleh warisan selama anak pewaris masih ada, baru apabila anak pewaris itu telah meninggal lebih dahulu dari pewaris, kedudukannya digantikan oleh anakanaknya atau cucu pewaris.[6]
b.      Bagian golongan II yang meliputi anggota keluarga dalam garis lurus ke atas yaitu orang tua, ayah dan ibu, serta saudara, baik laki-laki maupun perempuan beserta keturunan mereka. Menurut ketentuan BW, baik ayah, ibu maupun sudara-saudara pewaris masing-masing mendapat bagian yang sama. Akan tetapi bagian ayah dan ibu senantiasa diistimewakan karena mereka tidak boleh kurang dari ¼ bagian dari seluruh harta warisan. Jadi apabila terdapat tiga orang saudara yang mewaris bersama-sama dengan ayah dan ibu, maka ayah dan ibu masing-masing akan memperoleh ¼ bagian dari seluruh harta warisan. Sedangkan separoh dari harta warisan itu akan diwarisi oleh tiga orang saudara, masing-masing dari mereka akan memperoleh 1/6 bagian. Jika ibu atau ayah salah seorang sudah meninggal dunia, yang hidup paling lama akan memperoleh bagian sebagai berikut:
- ½ (setengah) bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris bersama dengan seorang saudaranya, baik lakilaki maupun perempuan, sama saja;
- 1/3 bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris bersama-sama dengan dua orang saudara pewaris;
- ¼ (seperempat) bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris bersama-sama dengan tiga orang atau lebih saudara pewaris.
Apabila ayah dan ibu semuanya sudah meninggal dunia, maka harta peninggalan seluruhnya jatuh pada saudara-saudara pewaris, sebagai ahli waris golongan dua yang masih ada. Apabila di antara saudara-saudara yang masih ada itu ternyata hanya ada yang seayah atau seibu saja dengan pewaris, maka harta warisan terlebih dahulu dibagi dua, bagian yang satu bagian saudara seibu. Jika pewaris mempunyai saudara seayah dan seibu di samping saudara kandung, maka bagian saudara kandung itu diperoleh dari dua bagian yang dipisahkan tadi.
c.       Bagian golongan III yang meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris, apabila pewaris sama sekali tidak meninggalkan ahli waris golongan pertama maupun kedua. Dalam keadaan seperti ini sebelum harta warisan dibuka, terlebih dahulu harus dibagi dua (kloving). Selanjutnya separoh yang satu merupakan bagian sanak keluarga dari pancer ayah pewaris, dan bagian yang separohnya lagi merupakan bagian sanak keluarga dari pancer ibu pewaris. Bagian yang masing-masing separoh hasil dari kloving itu harus diberikan pada kakek pewaris untuk bagian dari pancer ayah, sedangkan untuk bagian dari pancer ibu harus diberikan kepada nenek. Bagian golongan keempat yang meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping sampai derajat keenam, apabila pewaris tidak meninggalkan ahli waris golongan ketiga sekalipun, maka cara pembagiannya, bagian yang separoh dari pancer ayah atau dari pancer ibu jatuh kepada saudarasaudara sepupu si pewaris yakni saudara sekakek atau saudara senenek dengan pewaris.
Apabila dalam bagian pancer ibu sama sekali tidak ada ahli waris sampai derajat keenam, maka bagian pancer ibu jatuh kepada para ahli waris dari pancer ayah, demikian pula sebaliknya. Dalam pasal 832 ayat (2) BW disebutkan: ”Apabila ahli waris yang berhak atas harta peninggalan sama sekali tidak ada, maka seluruh harta peninggalan jatuh menjadi milik negara. Selanjutnya negara wajib melunasi hutang-hutang peninggal warisan, sepanjang harta warisan itu mencukupi”.[7]
Adapun anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya (pasal 186 KHI). Jadi misalnya, yang meninggal (pewaris) adalah ayahnya, maka anak tersebut tidak memiliki hak untuk mewarisi. Akan tetapi apabila pewarisnya adalah ibunya, maka ia berhak mewarisi.[8]

D.   

FIQIH: JINAYAH


BAB I
PENDAHULUAN
Sesungguhnya Allah SWT telah menjadikan hukuman bagi orang-orang yang berbuat dosa pada hari kiamat, namun hal itu tidak dapat menjadi penghalang bagi manusia dari melakukan perbuatan yang dapat merusak dan membahayakan kemaslahatan individu maupun kemaslahatan umum di dalam kehidupan dunia. Hal itu dikarenakan di antara manusia  ada yang memiliki kekuatan dan kekuasaan, sementara orang yang lemah serta teraniaya tidak mampu mengambil hak dari mereka. Dengan demikian hak asasi menjadi hilang dan kerusakan tersebar dimana-mana.
Karena alasan itulah diciptakan hukuman secara resmi menurut syara’ sebagai jaminan ketenangan manusia disetiap waktu dan tempat, sehingga kejahatan dan semua perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan dibumi yang tidak mungkin diperbaiki dapat diatasi dengan adanya hukuman atau had.
Hukum yang telah ditetapkan tersebut harus dipatuhi oleh semua manusia. Allah Yang Maha Bijaksana tidak berlebih-lebihan dalam segala urusan, akan tetapi Allah telah menciptakan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya. Dan menciptakan hukum dengan serapi-rapinya untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.     JINAYAT
1.      Pengertian
Secara etimologis, “jinayat” berarti perbuatan terlarang, dan “jarimah” berarti perbuatan dosa. Secara terminologi “jinayat” atau” jarimah” adalah segala larangan syara’ yang diancam hukuman had atau ta’zir. Dengan demikian, jinayat adalah perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa.
Adanya ancaman hukuman (‘uqubat) atas tindak kejahatan adalah untuk melindungi manusia dari kebinasaan terhadap lima hal yang mutlak pada manusia yaitu: agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan atau harga diri.
2.      Klasifikasi jinayah
a.      Klasifikasi berdasarkan sanksi hukum
Selanjutnya, para ulama pada umumnya mengelompokkan jinayah dengan melihat sanksi hukuman yang ditetapkan, kepada tiga kelompok: hudud, qishash, dan ta’zir
b.      Klasifikasi berdasarkan hak yang dilanggar
Pengelompokan ini berkaitan dengan boleh tidaknya pelaku kejahatan itu dimaafkan, yang terdiri dari empat macam: (1) kejahatan yang melanggar hak hamba, (2) kejahatan yang melanggar hak Allah, (3) kejahatan yang melanggar hak hamba yang berbaur dengan hak Allah,dan (4) kejahatan yang melanggar hak Allah yang berbaur dengan hak hamba.[1]
3.      Syarat dan rukun jinayah
a.      Syarat jinayah
Mengingat jinayah merupakan perbuatan yang dilarang syara’, maka larangan tersebut hanya ditujukan kepada orang-orang mukallaf (akil-baliq). Perbuatan merugikan yang dilakukan orang gila atu anak kecil, tidak dikategorikan sebagai jinayah, mengingat mereka bukanlah orang yang dapaat memahami khitbah (kewajiban) atau taklif (beban).
b.      Rukun jinayah
1)      Adanya unsur  formal (rukn al-syar’i), yaitu ketentuan (nash) yang melarang perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai ancaman hukuman.
2)      Adanya unsur  material (rukn al-maddi), yaitu pelaku melakukan perbuatan yang dilarang syara’, ataupun sebaliknya.
3)      Adanya unsur moral (rukn al-adabi), yaitu pelaku adalah orang yang memahaami khitab atau taklif, sehingga sanksi hukuman dapat dijatuhkan atas perbuatan yang dilakukannya.[2]
Faedah dan manfaat daripada Pengajaran Jinayat :
1)      Menjaga keselamatan nyawa daripada berlaku berbunuhan sesame sendiri dan sebagainya.
2)       Menjaga keamanan maruah di dalam masyarakat daripada segala fitrah tuduh-menuduh.
3)       Menjaga keamanan maruah di dalam harta benda dan nyawa daripada kecurian, ragut dan lain-lain.
4)      Berhubung dengan keamanan negara dan menyelenggarakan keselamatan diri.
5)      Perkara yang berhubung di antara orang-orang Islam dengan orang-orang kafir di dalam negara Islam Pembunuhan.
 
B.      HUDUD
Hudud, jamaknya “had”. Arti menurut bahasa ialah: menahan (menghukum). Menurut istilah hudud berarti: sanksi bagi orang yang melanggar hukum dengan dera/dipukul (jilid) atau dilempari dengan batu hingga mati (rajam). Sanksi tersebut dapat pula berupa dipotong tangan lalu sebelah atau kedua-duanya atau kaki dan tangan kedua-duanya, tergantung pada kesalahan yang dilakukan.[3]
Menurut hukum terdapat beberapa perbuatan yang dapat dikelompokkan had (hukuman), yaitu sebagai berikut:
1.      Zina
Zina yang mewajibkan hukuman ialah memasukkan laki-lakinsampai tekuknya kedalam kemaluan perempuan yang diingini lagi haram karena zat perbuatan itu.
Orang yang berzina ada dua macam yaitu:
a.      Yang dinamakan “muhsan”, yaitu orang yang sudah balig, berakal, merdeka, sudah pernah bercampur dengan jalan yang sah. Hukuman terhadap pezina muhsan adalah rajam.
b.      Orang yang tidak muhsan (yang tidak mencukupi syarat-syarat diatas), yaitu gadis dengan bujang. Hukuman terhadap mereka adalah didera 100 kali dan diasingkan selama satu tahun.

2.      Tuduhan zina (qadzaf)
Menuduh orang berbuat zina termasuk dosa besar, dan mewajibkan hukuman dera. Orang merdeka didera 80 kali, dan hamba 40 kali dera, dengan terpenuhinya beberapa syarat yaitu sebagai berikut:
a.      Orang yang menuduh itu sudah balig, berakal, dan bukan ibu, bapak, atau nenek dan seterusnya dari yang dituduh.
b.      Orang yang dituduh adalah orang islam, sudah balig, berakal, merdeka, dan terpelihara (orang baik).
1)      hukum tuduhan dari yang menuduh dapat gugur dengan tiga jalan:
mengemukakan empat orang saksi, menerangkan bahwa yang tertuduh itu betul-betul berzina.
2)      Dimaafkan oleh yang tertuduh.
3)      Orang yang menuduh istrinya berzina dapat terlepas dari hukuman dengan jalan li’an.[4]

3.      Minuman keras (al-khamr)
Meminum minuman keras yang memabukkan, misalnya arak dan sebagainya, hukumannya haram, dan merupakan sebagian dari dosa besar karena menghilangkan akal adalah suatu larangan yang keras sekali. Betapa tidak, karena akal itu sungguh penting dan berguna. Maka wajib dipelihara dengan sebaik-baiknya.
Tiap-tiap minuman yang memabukkan, diminum banyak ataupun sedikit tetap haram, walaupun yang sedikit itu sampai memabukkan.
Orang yang meminum minuman keras wajib didera 40 kali apabila ada saksi dua orang laki-laki atau dia mengaku sendiri.Bukan saja minuman, tetapi suatu makanan yang menghilangkan akal, seperti candu dan lain-lainnya, hukumnya juga haram karena termasuk dalam arti memabukkan.

4.      Pencurian (Al-Sariqah)
Mencuri adalah mengambil harta orang lain dengan jalan diam-diam , diambil dari tempat penyimpanannya.
Mencuri adalah sebagian dari dosa besar. Orang yang mencuri wajib dihukum, yaitu potong tangannya. Apabila ia mencuri untuk yang pertama kalinya, maka dipotong tangannya  yang kanan (dari pergelangan tapak tangan). Bila mencuri kedua kalinya, dipotong kaki kirinya (dari ruas tumit), mencuri yang ketiga dipotong tangannya yang kiri, dan yang keempat dipotong kakinya yang kanan. Kalau dia masih juga mencuri, dipenjarakan sampai ia tobat.[5]
Syarat-syarat hukum potong tangan yaitu:
a.      Pencuri tersebut sudah balig, berakal dan melakukan pencurian itu dengan kehendaknya. Anak-anak, orang gial, dan orang yang dipaksa orang lain tidak dipotong tangannya.
b.      Barang yang dicuri itu sedikitnya sampai satu nisab (93,6 gram emas), dan barang itu diambil dari tempat penyimpanannya. Barang itu pun bukan kepunyaan si pencuri, dan tidak ada jalan yang menyatakan bahwa ia berhak atas barang itu.